Aglio Olio Al Dente

01/ Aglio Olio Al Dente

Ibu pernah makan spageti? Atau lebih spesifik Aglio Olio Al Dente? Aglio Olio adalah salah satu jenis spageti yang cukup rumit untuk

dimasak atau diduplikasi. Aglio Olio mempunyai gelar ‘the most flavorful noodle’. Hari ini saya memasak Aglio Olio sebagai penganti karbohidrat untuk anak yang sedang tidak ingin makan nasi. Saya ingin menduplikasi ‘Aglio Olio Al Dente’ salah satu restoran ternama di Bali dengan chef asli dari Italia (mimpi kali yee? hahaha), tentu boleh kan seorang ibu punya mimpi? Apalagi sekedar mimpi memasak Aglio Olio dengan sempurna, Al Dente. Ketika ibu mencari tahu di mesin pencari google tentang ‘Aglio Olio’, kata kunci yang keluar adalah ‘Why is my aglio olio too dry? Is aglio olio supposed to be oily? How to make aglio olio al dente?’, banyak sekali pertanyaan bagaimana memasak Aglio Olio yang sempurna, tidak terlalu kering atau terlalu berminyak. Rasa-rasanya memasak Aglio Olio rumit seperti memahami perasaan anak, apalagi untuk saya yang bahkan sampai sekarang sulit memahami perasaan diri sendiri.

Seringkali kita mendengar pakar pengasuhan anak atau parenting berkata: Ibu harus memvalidasi perasaan anak, Ibu harus bisa meregulasi perasaan anak, sehingga Ibu bisa memahami emosi anak. Atau ada ungkapan bahwa mengenalkan emosi ke anak itu penting agar anak bisa menyampaikan keinginan & perasaannya kepada orang tua. Mengutip salah satu jurnal Center of Developing Child Harvard University: Children’s Emotional Development Is Built Into The Architecture of Their Brains, ‘As young children develop, their early emotional experiences literally become embedded in the architecture of their brains’, yang artinya ‘Saat anak-anak berkembang, pengalaman emosional awal mereka benar-benar tertanam dalam arsitektur otak mereka’. Dengan kata lain, saat anak dalam tahap perkembangan (golden age), pengalaman emosional akan tertanam dalam pikiran mereka baik secara sadar maupun tidak membentuk karakter & kepribadian anak.

Terlampau jauh untuk memimpikan tentang memahami - memvalidasi- hingga meregulasi perasaan anak, sedangkan kita para ibu, termasuk saya sendiri sering mengesampingkan perasaan diri sendiri. Alih-alih mengakui kalau lelah, saya lebih sering mengalihkan dan mengesampingkan perasaan agar hari saya sempurna, menyenangkan. Tapi bukankah langit tak selamanya terang? Ada mendung dan hujan.

Sebelum meregulasi perasaan anak, tahapan yang harus kita lalui adalah mengenal nama & jenis perasaan, mengenal situasi yang terjadi hingga perasaan-perasaan itu muncul, baru kita bisa memvalidasi & terakhir meregulasi perasaan anak. Namun, sudahkah kita mengenal, mengakui, tidak mengesampingkan, & memahami emosi kita para ibu sendiri? Bagi saya ini sangat sulit, lebih sulit dari memasak Aglio Olio Al Dente. Tahukah ibu? Mengutip dari jurnal yang sama, ‘The emotional health of young children is closely tied to the social and emotional characteristics of the environments in which they live’, yang artinya ‘Kesehatan emosional anak-anak terkait erat dengan karakteristik sosial dan emosional dari lingkungannya’. Jadi, bagaimanapun kita berusaha mengenalkan emosi ke anak, apabila diri kita sendiri, sebagai ibu, lingkungan terdekat anak, belum siap dan mau meregulasi perasaan sendiri, karakteristik sosial & emosional anak akan ikut paparan emosi yang dominan.

Butuh waktu cukup lama untuk menyadari bagi saya sebagai seorang ibu mengakui jika ‘saya tidak mampu mengenalkan macam-macam jenis emosi ke anak’. Sekedar mengakui bahwa saya tidak mampu mengenalkan emosi ke anak karena saya sudah lama mengesampingkan perasaan-perasaan saya sendiri, sampai lupa bagaimana rasanya tenang, gundah, tertekan, dan berkecukupan. Saya tidak mengakui bahwa saya tertekan tidak bisa menjadi ibu yang sempurna, sempurna seperti ibu saya yang ‘ibu pekerja’ atau sempurna seperti ibu mertua saya yang ‘ibu rumah tangga’. Kecenderungan karakter yang perfeksionis membuat saya selalu memacu diri untuk menjadi ibu yang sempurna. Bagaimana saya berproses jika saya tidak bisa mengkomunikasikan apa yang saya rasakan? Dan saya pun mencoba, mencoba berproses mengenali lagi emosi dalam diri, seperti mencoba berproses memahami takaran dan komposisi Aglio Olio Al Dente.

Perjalanan berproses menjadi ibu yang berkesadaran terhadap emosi tentu tidak mudah, harus mengajak ‘anak kecil’ dalam diri ikut berproses mengobati luka masa kecilnya sehingga tidak timbul luka di masa kecil anak saya. Seperti di film

NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini), saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang mengalami luka masa lalu oleh keluarga, untuk kasus saya luka dari keluarga besar, bukan orang tua. Saat berusia 3 tahun saya mengalami perubahan besar dimana ibu harus dirawat 6 bulan di rumah sakit karena sakit jantung dan melahirkan adik, sedangkan ayah bekerja sampai malam, saya dirawat keluarga besar dan art. Saya selalu diberi label anak nakal karena lebih aktif daripada kakak yang sangat rajin dan lebih tenang. Selalu dibandingkan dan dilabeli membuat saya selalu ingin menjadi lebih sempurna. Saya mengesampingkan semua emosi agar saya bisa sempurna terutama di bidang akademik dan pekerjaan. Semakin kesini, semakin banyak belajar parenting semakin saya sadar ‘there’s no perfect mom, but good enough mom, who eager to learn for herself to be better than her past’. Semakin kesini semakin saya berproses dan mengakui perasaan-perasaan yang dulu pernah muncul, berdamai dengan luka dan tidak mengesampingkan emosi. Belajar menerima, berproses untuk lebih tenang. Beberapa cara yang saya lakukan dengan kembali belajar mengenal berbagai macam emosi melalui buku, self journaling, dan menulis. Semoga mimpi saya menjadi orang yang lebih baik dari diri saya di masa lalu bisa tercapai, seperti mimpi membuat Aglio Olio yang akhirnya habis dilahap sang buah hati.

3 Likes