Merupakan suatu ketidaksengajaan ketika tahun lalu aku membeli buku ini di e-book, karena tertarik dengan judulnya. Tapi, aku yakin ketidaksengajaan ini merupakan rencana dari Allah Subhanahuwata’alla untukku.
Bertahun-tahun sejak aku menikah di tahun 2015, aku merasakan banyak sekali kerinduan akan ibu ku, kerinduan yang tidak pernah tersampaikan. Yang muncul di diriku adalah kehampaan. Aku sudah lelah dengan semua rasa itu. Aku tidak memiliki gambaran khusus tentang sosok “ibu ideal” seperti apa, makanya hanya buku ini satu-satunya yang merupakan buku bertema tentang “ibu” yang aku baca. Aku sendiri suka nonton Drama Korea, namun tidak ada cerita yang berfokus pada “sosok ibu” yang membekas di hatiku.
Bukan, bukan karena ibuku sudah meninggal dunia, beliau bahkan masih ada hingga saat ini. Bahkan kini beliau tinggal di Jakarta, dekat denganku yang tinggal di Kota Tangerang. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku secara rinci, karena tidak semua orang akan sepakat tentang ini. Setelah banyak pergulatan batin, aku memilih diam di dua tahun terakhir belakangan. Hal ini kulakukan untuk kebahagiaan diriku bersama suami dan anakku. Yang aku lakukan dalam diam adalah “menyantap” banyak sumber bacaan dan tontonan yang berkaitan dengan tema “Ibu” dan berusaha memandangnya dari sudut yang berbeda.
Buku ini menjadi awal pembuka mataku tentang rinduku yang mendalam kepada ibuku. Tapi, buku ini bukan tentang rasa, buku ini tentang logika dan keilmuan manusia.
Buku ini ditulis oleh seorang Psikolog asal Amerika Serikat bernama Susan Forward. Beliau menuliskan banyak kisah dari para kliennya yang merupakan wanita dewasa yang merasakan kekacauan diri, paling banyak terjadi karena hubungan dengan ibu kandung mereka yang tidak harmonis.
Mungkin tidak ada yang percaya dengan pernyataan “Ibu yang tidak mencintai anaknya” kalau orang yang membaca judul buku ini adalah orang yang memiliki hubungan harmonis dengan ibu kandungnya. Sebaliknya, semua teori menjelaskan bahwa “Tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya” membuatku lelah berkerumul antara logika dan perasaanku.
Buku ini menjelaskan bahwa perasaan hampa, rendah diri, rasa bersalah terus menerus, tidak pernah cukup, emosi yang mudah meledak, hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan, tidak mudah percaya kepada orang lain dan depresi di usia dewasa pada wanita disebabkan oleh kehancuran hubungan antara dirinya dengan ibu kandungnya sejak ia kecil. Tidak sampai disitu, hubungan wanita dewasa tersebut dengan ibu kandungnya semakin lama semakin kacau, artinya di usia dewasa si wanita, ibu kandungnya tetap penuh dengan drama yang membuat si wanita dewasa tersebut merasa lelah dan depresi.
Penulis yang merupakan praktisi psikolog keluarga menjelaskan bahwa para ibu mereka kebanyakan terjebak dalam sebuah gangguan kepribadian. Yang paling mendekati adalah Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Mengutip dari sebuah artikel Siloam Hospital, Narcissistic personality disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik adalah salah satu jenis gangguan mental di mana pengidapnya menganggap dirinya lebih baik dan lebih penting daripada orang lain, sehingga orang lain harus mengagumi, mencintai, dan membanggakannya.
Pengidap NPD cenderung memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Namun, di balik itu, ia juga menjadi lebih sensitif terhadap kritikan dari orang lain. Orang dengan gangguan ini juga cenderung memiliki empati yang rendah terhadap orang lain.
Narsistik berbeda dengan rasa kepercayaan diri. Rasa percaya diri yang positif terbentuk berdasarkan kualitas diri dan pencapaian. Sementara itu, narsistik kerap didasari oleh ketakutan apabila orang lain melihat kelemahannya dan rasa takut akan kegagalan. Oleh karena itu, pengidap narsistik juga rentan jatuh ke dalam depresi jika dikritik orang lain.
Artikel ini dibuat dan diterbitkan oleh Siloam Hospitals, baca selengkapnya di: Link ini
Menurut penulis buku ini, selain memiliki kontrol emosional yang buruk, narsistik sangat penuh drama dan manipulatif dalam kesehariannya.
Pada akhirnya, bagiku sangat penting mempelajari teori tentang narsistik dari buku ini. Karena pada dasarnya dampak yang ada di diriku sangat luar biasa. Aku sudah tidak lagi mengeluh saat ini, itu semua karena aku mempelajari beberapa sumber yang menjelaskan tentang narsistik. Dampak terparahnya adalah depresi yang sejujurnya masih suka aku rasakan hingga saat ini. Ketika otakku kuat dipenuhi dengan keilmuan yang logis, aku memiliki kemampuan untuk membentengi diriku dari perilaku abusive narsistik ibuku.
Penting bagiku membaca buku ini agar aku bisa yakin bahwa aku sudah cukup baik menjadi seorang manusia, aku sudah cukup berbakti sebagai anak (berbakti dengan caraku), agar aku bisa merasakan perasaan “cukup dan stop” terhadap pencapaian kehidupan.
Setelah aku membaca buku ini, ada sisi empatiku yang bisa menjelaskan bahwa “ohh yasudah, ibuku memang ditakdirkan seperti itu” dan aku juga ditakdirkan untuk berjuang dengan segala rasa dan berusaha merubahnya menjadi energi yang lebih baik, agar aku tidak menurunkan perilaku abusive yang telah membekas menjadi trauma kepada anakku.
Hal yang paling utama ketika aku berjuang dengan rasa ini, aku banyak menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahuwata’alla, aku rela dengan takdirNya. Hatiku sudah semakin pulih, jiwaku semakin kuat menolak rindu yang hampa, otakku kini lebih dominan bekerja dibanding perasaanku.
Namun Allah menakdirkan sel imun tubuhku menyerang diriku sendiri, aku terkena Autoimun (IBD – Ulcerative Collitis). Aku didiagnosa penyakit ini sejak April 2024, namun semakin aku kenal tentang gejala penyakit ini, semakin aku sadar bahwa aku sudah mengalami gejala penyakit ini sejak aku SD dahulu. Tapi, aku ikhlas dan bahagia saat ini karena aku memiliki support system yaitu suami dan anak yang selalu menerimaku apa adanya.