Seorang pemain bulutangkis dapat melakukan smash, memukul kok, dan servis adalah hal yang bagus, namun dapat memukul kok di area lawan yang tepat, melakukan smash hingga mendapat poin, dan melakukan servis yang menipu lawan adalah level yang lain.
Di Indonesia, tentu saja kita punya Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan yang melegenda hingga saat ini. Hendra dengan wajah tanpa ekspresinya berusaha meniti permainan, mengumpulkan poin demi poin dengan trik-trik netting-nya yang sulit ditebak lawan. Sedangkan Ahsan dengan smash kencangnya akan berusaha mengamati gerak-gerik lawan untuk kemudian mampu menempatkan kok di tempat yang tak terjangkau lawan atau bahkan mengecohnya.
Akan berbeda hasilnya ketika mereka bermain tanpa mengamati lawan di lapangan dan tidak tahu akan kemana jatuhnya kok yang dipukulkan. Hendak sekencang apapun pukulan smash yang dilakukan, tenaga sekuat itu bisa jadi sia-sia jika kok masih bisa dihalau atau yang paling bikin kesal ya… nyangkut di jaring net.
Nah, dalam hal menulis, menurut saya tak jauh beda dengan bulutangkis. Mungkin banyak dari kita berpikir bahwa untuk menjadi pemain bulutangkis sejago Hendra dan Ahsan, kita perlu lebih banyak melakukan pukulan-pukulan kok atau lebih kencang melakukan smash, dan itu memang tepat,
…tapi, ternyata tak hanya itu.
Pemain bulutangkis yang hebat selain melakukan pemanasan sebelum bermain, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu latihan untuk mengamati pemain lain melakukan pukulan smash, servis, cara menghalaunya, dan bagaimana menempatkan kok di tempat yang tepat.
Penulis yang andal sama halnya dengan itu, mereka menulis, tetapi mereka akan lebih banyak membaca, memperhatikan dan menyimak bagaimana setiap kata yang ditulis oleh penulis lain dapat memikat dengan teknik penulisan, dan diksinya.
Jim Trelease, dalam bukunya The Read Aloud Handbook menjelaskan sebuah kajian yang diterbitkan oleh National Assessment of Educational Progress (NAEP): Writing Report Card pada tahun 1992 yang membuktikan bahwa siswa penulis yang mendapat angka atau nilai tertinggi bukanlah mereka yang menulis hampir setiap hari, tetapi para siswa yang membaca karena gemar membaca, siswa yang punya banyak materi cetakan di rumah, dan yang teratur menulis di kelas.
Disinilah fakta penting dari hubungan antara membaca dan menulis: membaca mengaktifkan indra-indra visual kita yang membantu otak merekam satu kalimat atau lebih di dalam ingatan kita untuk kemudian dapat dituangkan dalam tulisan.
Apa artinya? Tidak ada yang salah dengan terus menulis untuk meningkatkan kualitas tulisan kita, namun hanya menulis saja tentu tak cukup.
Ada banyak kesempatan terbuka untuk menjadi seorang penulis yang andal dengan lebih banyak membaca dan membaca. Semakin banyak buku yang kita baca, semakin banyak pula referensi yang kita dapatkan untuk menulis, semakin luwes gaya menulis kita, dan semakin meningkat pula kualitas tulisan kita.
Jadi, untuk jadi penulis andal, jangan lupa siapkan paling tidak satu buku untuk dibaca setiap hari ya. Disela-sela memasak, ketika anak tidur, di dalam bus atau krl, atau dengan sengaja meluangkan waktu untuk membaca. Buku apa saja boleh, termasuk blog dan takarir di Instagram juga jangan tertinggal.
Kalau pemain badminton wajib melakukan pemanasan sebelum bermain, sebagai penulis juga wajib untuk membaca sebelum menulis. Pokoknya baca terus seakan kita akan bertanding melawan Hendra dan Ahsan besok pagi.
Salam olahraga… eh, salah… maksudnya salam literasi!
Sumber:
Trelease, Jim. 2017. The Read Aloud Handbook Edisi ke-7. Jakarta: Noura.