Buat Produkmu Dari “Nice to have” Jadi “Need to have”

Just solving a customer need does not mean you’ll have a killer product.

Sering kali kita memulai bisnis untuk menjual produk/jasa yang kita miliki, yang kita rasa membantu calon pembeli menyelesaikan masalah mereka. Sayangnya, ketika kita berasumsi “oh kayanya banyak deh yang butuh ini” ternyata kenyataannya ga seperti itu. Mungkin karena design product nya, kualitas, atau hal detail lain yang ternyata kurang cocok dengan selera calon pembeli. Malah bisa juga dari awal kita salah membidik target market tertentu, atau memang moment-nya belum tepat.

Menjadi seorang Ibupreneur itu banyak menemukan ketidakpastian, trial error sudah jadi hal biasa dalam perjalanan bisnis Ibu. Proses ini memang penuh peluh dan mahal (di waktu dan biaya), tapi kalau kita terus belajar memperbaiki produk dari feedback pembeli secara efisien, maka produk/jasa Ibu bakal semakin cocok dan dicintai pelanggan. Bukan lagi jadi produk seperti vitamin yang “nice to have” tapi jadi andalan yang kalau ga dipake malah bikin pusing “need to have”.

Salah satu brand yang menjadi inspirasiku adalah Sayurbox. Biasanya beli sayuran ya kalau ga di supermarket lalu di tukang sayur, sesekali belanja online di aplikasi nya buat pilih buah yang lebih bervariasi dibanding di tukang sayur. Nah ketika pandemi, wow bisnis penjualan sayur online secara nasional pun meningkat sampai empat kali lipat dibanding sebelumnya. Sekarang saya biasa belanja sayur tinggal tap scroll tap, sangat efisien dengan harga yang juga bersaing. Mau pindah ke app sayur online lainnya kok rasanya ga semudah yang biasa saya pakai. Jadi seminggu sekali ya jempol wajib belanja sayur buah dulu.

Kok bisa yah dari “sesekali membeli” menjadi “wajib beli”? Dari kacamata pelanggan, dalam dua tahun ini saya merasa banyak peningkatan dari segi kualitas produk dan layanannya yang semakin mengerti kebutuhan buibu masa kini. Kok bisa tahu sih? memang penyedia sayur online ini rajin banget minta feedback pembeli, lewat email, whats ap, atau app nya sendiri dibarengi copy yang luwes jadi bikin pelanggan ga merasa diuber-uber orang survey.

Nah kalau mau mengekor cerita sukses di atas, kita bisa mulai belajar gimana sih caranya supaya “beli produk/jasa brand kita” tuh jadi menu wajib pelanggan. Caranya? Pertama, kita bayangkan yuk (dan menggambarkan) customer journey ketika memakai produk/jasa kita.

Kedua, minta feedback dari pembeli. Misalnya lewat survey via google form ataupun interview langsung. Pastikan dulu tujuan surveynya apa supaya surveynya efisien.

Ketiga, pisahkan saran dan kritik sesuai kategori minimum viable product atau extra values. Lalu petakan strategi apa yang akan kamu lakukan berdasarkan feedback tersebut.

Kalau di industri kuliner, proses lanjutannya biasanya R&D produk lagi dengan beberapa versi lalu di uji coba kembali (biasanya free) ke pembeli yang berkenan kasih masukan. Lalu prosesnya diulang terus sampai dapat produk paten!

Uniknya, mungkin karena orang Indonesia terlalu santun jadi ga enak memberikan feedback yang kurang bagus. Nah tantangannya gimana caranya buat menemukan honest review, gapapa ya Bu walau bikin bitter tapi pada akhirnya akan buat produk dan bisnis kita tumbuh jadi better.

Adakah Ibu-Ibu yang punya pengalaman menggalang feedback? share disini yuk Bu.

referensi: Painkillers vs. Vitamins. Solve your customer pain and you’ll… | by Kyle Sandburg | Strategy Dynamics | Medium

2 Likes