Budi Pekerti:
Tentang Peran Ganda Perempuan dan Cyberbullying
“Asui!” (Anjing!)
“Ah, suwi!” (Ah, lama!)
Hidup Bu Prani dan keluarga berubah berkat dua kata itu. Berawal dari perselisihan Bu Prani dengan pembeli putu di sebuah pasar. Kejadian tersebut direkam, diunggah ke media sosial, dan menjadi viral. Dalam video itu Bu Prani yang berkata “Ah, suwi” kepada penjual putu dan dianggap sebagai makian,”Asui”. Maha benar netizen kemudian berkomentar, menilai, menyimpulkan, bahkan memodifikasi video Bu Prani dengan sangat kasar. Singkat kata, Bu Prani dan keluarganya akhirnya mengalami cyberbullying.
Bu Prani tidak memiliki kesempatan untuk melakukan klarifikasi. Sekali pun itu dilakukan, netizen tetap menganggap Bu Prani adalah orang jahat. Semakin Bu Prani dan keluarga membela diri, semakin negatif respons yang didapat.
Semua aspek cyber bullying diterima oleh Bu Prani. Mulai dari flaming (pesan dengan amarah), harrasment (gangguan), denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing (penyebaran), trickery (tipu daya), exclusion (pengeluaran), dan cyberstalking.
Kehidupan pribadi Bu Prani pun tak luput jadi konsumsi publik. Profesi, identitas anak, hingga tempat tinggal Bu Prani dikuak netizen dalam waktu singkat. Ditambah dengan opini-opini jahat yang menyertainya.
Menurut netizen, Bu Prani yang bekerja sebagai guru BK di salah satu sekolah di kota Jogja, dianggap tidak pantas mengemban tugas itu. Sebaliknya, Bu Prani justru merupakan guru yang disegani. Sebagai guru BK, alih-alih memberi hukuman, Bu Prani justru memberikan ‘refleksi’ kepada muridnya yang bermasalah.
Promosinya menjadi Wakasek pun harus dibatalkan karena yayasan tidak ingin citra sekolah menjadi hancur karena rumor yang tersebar–meski pihak sekolah sebetulnya lebih percaya kepada Bu Prani ketimbang netizen.
Melihat apa yang sedang terjadi, para alumni memberi dukungan kepada Bu Prani dengan mengunggah video jasa-jasa Bu Prani terhadap kehidupan mereka. Mereka menyebarluaskan metode refleksi diri yang diterapkan Bu Prani kepada muridnya yang bermasalah, tetap saja ‘digoreng’ oleh netizen. Netizen menganggap refleksi diri tersebut berlebihan dan dapat mengganggu psikologis murid.
Tekanan datang bahkan dari keluarganya sendiri. Bu Prani merupakan tulang punggung keluarga dengan seorang suami pengidap bipolar, Pak Didik, dan dua anak bernama Tita dan Muklas. Bukan keluarga yang hangat namun saling menyayangi, begitu kesan yang ditangkap dari film tersebut. Muklas yang merupakan influencer, menganggap cyberbullying yang menimpa ibunya merugikannya.
Awalnya di depan pengikut Muklas tidak mengakui pelaku dalam video viral itu adalah ibunya, namun karena semakin terdesak, Muklas akhirnya mengakui dan memberi pembelaan. Muklas juga memaksa Bu Prani membuat video permintaaan maaf secara terbuka, namun ditolak oleh ibunya karena ia tidak merasa melakukan kesalahan.
Puncaknya, Bu Prani disiram dengan air bunga di jalanan oleh orang tak dikenal. Setelah ditangkap diketahui bahwa pelakunya adalah anaknya sendiri, Muklas. Di sini alih-alih marah, Bu Prani hanya diam dan berkata*,”Mulih”* (pulang!). Sampai rumah, Bu Prani bahkan memberikan air minum kepada Muklas yang sedang menangis.
Di situ penonton emosi penonton sangat dibuat campur aduk. Karakter Bu Parni sangat kuat. Tekanan sosial, pekerjaan, keluarga akibat cyberbullying yang dialami Bu Prani seperti dirasakan juga oleh penonton. Bagaimana Bu Prani sangat terlihat tegar ketika di hadapan anaknya sekalipun, namun ia menangis ketika sendiri.
Value keluarga dan impactful begitu lekat dengan Bu Prani. Masalah yang datang bertubi-tubi tidak membuatnya berubah prinsip. Bu Prani tetap terus mengajarkan budi pekerti yang baik kepada muridnya sampai akhir cerita. Dan ia tetap menjalankan peran sebagai seorang ibu meski beratnya masalah yang sedang dihadapi.
Cerita tentang Bu Prani terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Peran ganda seorang perempuan, menjadi ibu dan pekerja profesional. Serta cyberbullying yang bisa terjadi kepada siapapun, mengingat banyak pengguna sosial media yang kurang bijak.
Bisa saja kita tiba-tiba viral setelah menegur orang yang buang sampah di pekarangan kita. Atau karena kita membiarkan anak tantrum di depan umum, padahal karena ia meminta gadget untuk screen time yang melebihi batas waktu. Siapa tahu?