Ibu Loveliest,
Meskipun meleset dari topik, tapi masih dalam ranah yang bisa kami cover kok Bu hehe. Talk to Coach beberapa kali membawakan webinar dengan salah satu pembahasannya adalah Passion dan Purpose , barangkali Ibu tertarik boleh follow akun Instagram kita @talktocoach (yang paling update ) untuk tahu kelas-kelas yang akan kita bawakan. Atau, sedikit bocoran, kita akan launching online course di Udemy dengan tema Achieving Goals in 30 days dan The Foundation to a Fulfilling Life (disini kita akan membahas tentang Values, Beliefs System, Passion dan Purpose ). Saya rasa tema-temanya masih cukup relevan dengan pembahasan kita di malam ini ya hehe.
Jika kita bicara tentang Passion , pada kenyataannya memang banyak yang tidak punya, ataupun belum punya. Dan, sebenarnya Passion itu tidak wajib dimiliki kok Bu, apalagi kalau atas dorongan dari eksternal. Misalnya karena melihat orang lain bekerja berdasarkan passion -nya lalu kita malah memaksa diri kita untuk “mengada-adakan” passion itu tadi. Sayang ya Bu, padahal sebenarnya fokusnya passion itu adalah apa yang ada di dalam diri sendiri.
Kenapa ya orang bingung apa passion -nya?
Bisa jadi karena dia memang merasa tidak butuh Bu, karena dengan kerjaannya sekarang sudah bisa menghasilkan uang dan mencukupi kebutuhan sehari-hari, misalnya. Bisa jadi juga, itu bukan suatu hal yang ia inginkan, karena ia ingin memenuhi kebutuhan sehari-harinya dulu, juga membeli rumah. Bisa jadi juga karena dia tidak pernah memberikan waktu untuk mengeksplorasi diri sendiri, sehingga ia tidak betul-betul kenal dengan dirinya. Bisa jadi juga, teknik yang digunakan untuk mengetahui passion -nya, tidak tepat atau tidak cocok dengan dirinya, sehingga tidak manjur deh hehe.
Biasanya, orang fokus kepada end-goal- nya yakni mengetahui apa itu passion kita. Padahal, ada sebuah proses lho Bu, yang membutuhkan waktu, perhatian, dan effort dari dan untuk diri sendiri.
Kalau aku boleh saran, jika Ibu sudah tahu apa passion Ibu, mungkin boleh di bagikan cerita mengenai perjalanannya Bu. Karena, kadang teknik saja tidak cukup, seperti “How-to” atau “Bagaimana cara”-nya. Karena kembali lagi, kita punya kemampuan dan kapasitas yang berbeda, perjalanan yang berbeda, sehingga bisa dibilang no shoes fits for all .
Berdasarkan pengalamanku dalam menemukan passion , aku harus berada dalam sebuah krisis dulu Bu, yang terkenal di masa kini adalah Quarter-Life Crisis . Jadi waktu itu aku lagi galau dengan masa depan, bagaimana relationship, pekerjaan, dan edukasi aku. Sedikit cerita, aku menolak ajakan menikah dari mantan pacarku, karena waktu itu aku merasa tidak satu Visi dalam hidup dengannya. Dan setelah bertanya pada diri sendiri “apa yang aku mau?”, hatiku selalu bergejolak ketika berpikir “aku mau menikah dengannya” dan tenang ketika aku berpikir “aku mau melanjutkan kuliah dan meniti karir yang lebih baik”. Dari situ aku memberanikan diri untuk tidak menikah dengannya, dan memulai perjalanan eksplorasi diri.
Ibarat kata, aku paham kalau aku harus kepentok dulu Bu, ada masalah dulu baru aku akhirnya work on myself . Selama ini nggak mempan kalau disuruh orang lain, aku lebih mudah bergerak ketika terinspirasi dibandingkan mengikuti saran orang lain. Singkat cerita, aku paham bahwa untuk mengenali diri sendiri membutuhkan banyak waktu untuk refleksi, begitu juga dengan memberikan atensi dan usaha. Dulu aku suka pergi ke cafe sendirian, ngopi seharian, dan banyak bicara dengan diriku sendiri, yang ternyata kemudian aku pahami sebagai self-talk . Aku mendokumentasikan pikiran, perasaan, pertanyaan, kegalauan, dan semuanya deh, ke dalam sebuah jurnal.
Aku sadar kalau kepalaku penuh dengan banyak pikiran, dan aku gatau mulai darimana. Jadi aku tuangkan dulu semua yang mengganggu pikiran aku sampai aku lega. Lalu aku coba baca ulang, aku review , dan aku coba pahami apa yang aku tulis. Ketika aku baca ulang dan ada yang mengganjal, misalnya ketika aku bilang aku “sedih” lalu hatiku kayak “nyuuttt”, aku berhenti dan mencoba memahami lagi dengan bertanya pada diri sendiri “aku beneran sedih atau apa sih nih?”, hingga akhirnya menemukan perasaan lain yang lebih tepat baru aku lanjutkan. Pake si STAR yang sebelumnya sudah aku tulis Bu. Dan tahapan Self-Awareness, Self-Understanding, Self-Acceptance, dan Self-Love sudah aku jalani lebih dulu, baru kemudian tahu istilahnya hehehe.
Bagaimana aku akhirnya menemukan passion aku?
Aku coba merefleksikan perjalanan hidupku selama ini, nggak usah jauh-jauh, pikirku. Aku mulai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apa yang aku suka dari pekerjaanku?”, “apa yang kayaknya aku kerjain selama berjam-jam, nggak berasa?”, “apa isu yang selalu membuat aku merasa bersemangat atau berapi-api?” dan sebagainya hingga “apa yang mau aku lakukan hingga umur 50 tahun?” dan “ketika aku mati, aku ingin dikenal sebagai orang yang seperti apa?”. Lalu aku coba connecting the dots , atau yang tadi aku bilang mencoba mencari pola. Setelah kurang lebih 6-9 bulan aku galau, mempertanyakan diriku sendiri, menuliskan jawabannya, me- review ulang tulisanku, mencoba connecting the dots , paham mengapa aku merasa begini atau mengapa aku melakukan/bereaksi/merespin begitu, dsb; akhirnya aku membuat sebuah statement atau intisari dari perjalanan aku. Ketika tidak ada resistance dari dalam diri malah aku merasa berapi-api, disitu aku tahu kalau aku sudah menemukan passion- ku.
Jadi, prosesnya panjang ya Bu. Nggak semua orang mungkin sadar atau mau untuk melakukannya. Tapi yakinlah Bu, it’s worth it . Ibarat kata kita pohon, kita nggak gampang goyah karena angin, hujan, terik matahari, dan hal-hal mengganggu lainnya dari luar diri, karena kita punya fondasi yang kuat di dalam diri.
Semoga, kita bisa belajar untuk mencintai berproses ya Ibu-Ibu. Karena life is not a destination, life is a journey .
Good luck!