It's Not Gonna Be Easy, But It's Gonna Be Worth It: Review buku 'Romansa MamaSiswa'


Buku ini merupakan kumpulan cerita yang ditulis oleh 17 Mama penerima beasiswa LPDP PK-151 yang melanjutkan mimpi mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi setelah berkeluarga.

17 penulis artinya 17 cerita yang berbeda. Membaca buku MamaSiswa membuat kita menyadari bahwa setiap perempuan memiliki situasi keluarga berbeda, seperti yang ditulis oleh Maharanny Diwid Prasetyawatiseti dalam cerita ‘Dari Pintu Lemari’. Bukan hanya keluarga dalam artian pasangan dan anak-anak tapi juga orang tua dan saudara-saudara. Dalam cerita ‘Impian Anak Perempuan Terakhir’, Rezky Yunita menceritakan soal latar belakang keluarganya yang tidak memprioritaskan dia untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Walau memiliki latar belakang dan situasi keluarga yang berbeda, ada persamaan yang bisa saya simpulkan dari semua cerita:

  • Setiap Mama yang mengemban beberapa peran sekaligus pasti merasakan yang Namanya Lelah dan bersalah karena tidak bisa selalu hadir untuk anak-anaknya. Namun demikian, rasa Bersalah itu tentu didasari oleh rasa cinta dan ingin memberikan yang terbaik bagi keluarga. Oleh karena itu, seperti yang ada pada cerita ‘A short tale of the unnecessary (and necessary) guilt trip’ tulisan Bhelinda Ramadhani, hendaknya perasaan bersalah ini dipilah dan dikelola. Dalam cerita ‘Mama Jangan Pergi’, Dethan Erni Ortalisje menjelaskan bahwa rasa rindu terhadap anak-anaknya justru memberinya motivasi untuk segera menyelesaikan studinya dengan baik.
  • Selain mengelola rasa bersalah, penting sekali untuk mengelola ekspektasi. Seperti yang ditulis pada cerita ‘Senyum Bocilku, Penyemangat Studiku’ oleh Krisnawati Gulo, memahami bahwa tidak ada mama yang sempurna adalah salah satu kunci agar tetap ‘waras’.
  • Dukungan pasangan dan keluarga adalah hal yang paling penting. Dalam mengejar mimpi, wajar sekali jika ada komentar-komentar miring dari tetangga seperti yang dituliskan dalam cerita ‘Tuhan Bersama Orang yang Mau Berjuang’ oleh Lisa Nur Hidayah. Namun demikian, fokuslah kepada tujuan kita di awal saat berusaha meraih mimpi. Ingatlah bahwa menjadi ibu yang berilmu dan berdaya akan memberi dampak positif di keluarga, karena ibu, seperti judul tulisan Wahyu Lupita Sari, adalah ‘Madrasah pertama’
  • Akan selalu ada keraguan saat kita berusaha untuk meraih mimpi kita, termasuk untuk mengenyam Pendidikan yang lebih tinggi. Seperti yang ada pada tulisan ‘Melanjutkan Studi Ketika Tidak Muda Lagi’, Sri Surati sempat mempertanyakan apakah dia masih bisa mengenyam Pendidikan lagi. Namun demikian, segala keraguan ini bisa dihadapi dengan tekad dan keikhlasan. Ya, dalam meraih mimpi tentu ada banyak konsekuensi yang harus dijalani, namun keikhlasan ini akan membantu kita menjalani semuanya.

Pada akhirnya saya suka sekali dengan kata-kata di bagian akhir tulisan ‘Seratus Hari Setelah Empat Puluh’ tulisan Yusi Irasanti Santrimo, “Tapi bukanlah cara terbaik menghadapi hidup adalah menjalaninya satu persatu dengan antusias?”

Ya, menurut saya meraih mimpi juga tidak harus buru-buru, entah itu berbisnis, sekolah lagi, bekerja lagi, dan mimpi-mimpi lainnya. Jika memang kesempatannya datang, buka lah hati, pikiran dan ruang diskusi dengan keluarga. Percayalah pada diri dan tujuan sendiri dan katakan, “It’s not gonna be easy, but it’s gonna be worth it.” :blush:

6 Likes

Love Sekali. A very helpful insight for me yg sedang excited untuk bebenah diri, berdamai dgn diri sendiri setelah menjadi Ibu dan keinginan untuk melanjutkan S2 dan tetap bekerja :pray:t2::blue_heart:

1 Like