Maternity Leave, Mendukung Ibu Indonesia Menjadi ‘Super Mom’

Iya, ‘Super Mom’! Ibupreneur, enggak salah baca kok. Super Mom bukan berarti ibu yang serba bisa mengelola segalanya sampai lupa sama dirinya sendiri, ya. Super Mom di sini artinya ibu yang bisa mencapai potensi terbaiknya sehingga bisa membawa manfaat untuk dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Lalu, apa hubungannya dengan maternity leave??

Ibupreneur yang bekerja kantoran pasti sudah enggak asing dengan istilah ‘maternity leave’. ‘Maternity leave’ atau cuti melahirkan ini bukan sembarang cuti, lho. Buktinya, ketentuan cuti ini sampai dituangkan dalam Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pasal 82 ayat (1), yang berbunyi, “Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.” Jadi menurut Undang-Undang ini, seorang ibu pekerja mempunyai hak untuk cuti melahirkan selama 3 bulan.

Enggak Cuma Urusan Rumah

Di atas kertas, hitungan tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar ya, Ibupreneur. Itulah hal yang saya rasakan saat menjalani maternity leave tahun lalu. Bahkan, saya membuat bucket list yang berisi kegiatan di rumah selama maternity leave, dari menyikat kamar mandi, membaca buku, sampai berkebun di halaman. Nyatanya, JENG-JENG … Tidak ada yang tercapai!

Ibupreneur yang pernah menjalani cuti melahirkan tentu paham. Bayangkan, selain kondisi fisik yang berubah pasca melahirkan, kondisi mental juga jadi pertaruhan. Belajar ini dan itu dalam waktu singkat untuk memahami bayi. Semua perhatian kita tercurah padanya. Belum lagi orang-orang di lingkungan kita yang justru enggan membantu. Aaargh …

Kantor yang Kurang Suportif

Enggak cuma ranah personal di rumah, praktik di kantor pun ternyata seringkali bermasalah. Walaupun sudah tercantum di Undang-Undang sedemikian rupa, ada saja perusahaan yang enggak serta merta memberikan cuti melahirkan kepada ibu pekerja. Ada saja alasan yang diberikan. Selain itu, ada juga perusahaan nakal yang tidak memberikan upah selama masa cuti melahirkan. Jadilah para ibu pekerja was-was kehilangan penghasilan.

Kurangnya empati dan pemahaman perusahaan tentang pentingnya memberikan dukungan cuti melahirkan menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi oleh ibu pekerja. Selain cuti melahirkan untuk ibu pekerja, sebenarnya, peran ayah dalam proses perawatan dan bonding dengan bayi juga penting. Mendorong perusahaan untuk memberikan fasilitas cuti ayah (paternity leave) yang layak dapat membantu menciptakan lingkungan keluarga yang seimbang dan saling mendukung.

So, Jangan Berhenti, Bu!

Kabar baiknya, beberapa organisasi perempuan mulai marak menyuarakan perpanjangan masa cuti melahirkan. Mereka memandang perlu adanya penambahan waktu agar proses ibu bersama bayi berjalan optimal, termasuk agenda mahapenting: menyusui! Dengan waktu yang lebih panjang untuk bonding dan pemulihan pasca melahirkan, diharapkan dapat memberikan dampak positif pada kesejahteraan keluarga.

Sesungguhnya, setelah melahirkan, seorang ibu (dan juga ayah) membutuhkan waktu ekstra untuk merawat bayi mereka. Sehingga, peran kita sebagai seorang pekerja untuk memahami dan memperjuangkan hak-hak pekerja juga dibutuhkan. Karena lagi-lagi, kalau bukan kita, siapa dong?