Setelah hampir enam tahun membacakan buku untuk anak, aku mencoba menguji fokus dan minatnya terhadap bacaan yang lebih panjang. Melewati riset novel yang bisa dibaca untuk anak enam tahun, bertemulah kami dengan Na Willa karya Reda Gaudiamo. Novel anak pertama yang kami punya dan bikin nagih. Aku pun serasa nostalgia dengan setiap jalan cerita yang disungguhkan apik oleh Reda Gaudiamo.
Sosok Marie, mak Na Willa yang menjadi sosok inspiratif kedua setelah mamaku. Kenapa? Yuk mari berkenalan dengan Marie.
Marie, seorang pribumi yang menikah dengan pria Tionghoa yang punya tiga anak: Na Willa dan si kembar, Na Piga dan Ma Migu. Seperti kebanyakan baby boomers, Marie mendidik Na Willa dengan paket combo: cinta kasih plus kekerasan.
Sambil menghentak-hentak kaki, aku berteriak, aku bilang Warno bilang aku asu Cino. Mak memandangi aku. Bu Wardiman juga. Lalu mereka saling berpandangan. Mak bilang, “Coba Mbak Yu tanya dulu, apa betul Warno ngomong begitu.” …
Tiba-tiba aku terlempar. Mak menampar aku. Keras. Aku jatuh terduduk di tanah. Kenapa? Mak cepat mengangkat aku dengan menarik bajuku. Mungkin aku akan dilempar ke jalan. Kenapa? Ternyata aku dibawa ke kamar. Mak mengunci pintu, lalu mengambil sapu lidi yang tergeletak di tempat tidur. …
…
Ia duduk di atasku. “Willa, Mak tidak tahu dari mana asalnya adat kamu yang jelek ini. Tapi kamu harus Mak pukul!”
…
Dia bilang, “Willa memukul orang yang cacat itu perbuatan yang sangat salah! Sampai kapan pun kamu tidak boleh menyakiti orang yang cacat!”
“Tapi dia bilang aku Cino!”
Mak berteriak, “Kamu memang Cino! Bapakmu Cino!”
Namun, dibalik kerasnya Marie mendidik Na Willa, Marie bisa juga kok mendengar dan memahami Na Willa. Seperti di mana Na Willa seharusnya merasa aman malah menjadi tempat di mana Na Willa mendapat perundungan oleh teman-teman sekelasnya juga gurunya.
Bu Tini bilang namaku Na Willa. Tiba-tiba satu kelas tertawa. Keras sekali! Ibu Tini juga ikut tertawa. Apa yang lucu? Kenapa kalian tertawa? Aku tak suka.
Di hari pertamanya sekolah sungguh terasa tekanan batin dan fisik yang diterima Na Willa. Na Willa diremehkan dan guru enggan disalahkan. Na Willa membalas lalu kabur dari sekolah. Saat tahu Na Willa kabur dari sekolahnya, setelah mendengarkan cerita, Marie menemui pihak sekolah untuk konfirmasi kebenaran kejadian. Sekembalinya dari sekolah,
Mak menarik napas, lalu berjongkok di depanku. Memegang lututku. Ia menarik napas sekali lagi. Lalu dia bilang begini, “Mulai besok, kamu tidak usah kembali ke sekolah itu lagi. Kita akan cari sekolah baru.”
Marie mampu menjadi garda terdepan Na Willa ketika mendapat bullying di sekolah. Sepertinya, Marie sudah belajar parenting masa kini yaa, bicara dengan eye level yang sama dengan anak, hihi.
Yang kusuka juga dari Marie adalah kemampuannya menjelaskan logis kepada Na Willa yang masih TK bahwa di dalam radio hanya ada peralatan listrik yang menangkap gelombang yang disampaikan dari stasiun radio. Semua rasa penasaran Na Willa dijawab secara ilmiah.
Dari Marie, aku juga belajar ketegasan menerapkan batasan. Ketika teman Pak yang bertamu sampai pagi. Marie bilang pada Na Willa,
“Willa, kalau sudah besar nanti dan bertamu ke rumah orang, kamu harus ingat untuk pulang. Apalagi kalau sudah malam. Yang punya rumah juga ingin tidur dan istirahat.”
Dengan lugas Marie menegur Pak dan temannya saat bertamu di hari berikutnya,
“Jangan lupa besok antar Willa ke sekolah, ya Pak. Pagi-pagi. Jadi barangkali kongkow-kongkownya tidak usah sampai pagi seperti kemarin, ya.”
Banyak isu diangkat oleh Reda Gaudiamo yang membuatku belajar banyak hal dari Marie, tentang toleransi, keberagaman, kekeluargaan, dan ketegasan. Bonusnya, seri Na Willa mampu membuat anakku berimajinasi pada waktu di mana telegram bukanlah sebuah aplikasi. Ini adalah novel yang sangat kurekomendasikan. Selamat membaca.