Menjadi Ibu yang Utuh

It takes a village to raise a child. Nyatanya, a whole village saja tak cukup untuk membesarkan seorang jiwa kecil yang baru mengenal dunia. Nyatanya, dibutuhkan kesiapan diri yang matang lahir dan batin, jiwa dan raga.

Ibu baru pasti mengerti akan hal itu, namun benarkah semua faktor luar dalam tersebut siap setiap saat untuk membesarkan anak kita? Lelah berjuang selama kehamilan, hingga berjuang bak di ‘medan’ ruang bersalin. Esoknya pun harus bangkit mengurus jiwa mungil yang haus akan kasih sayang dan kelembutan.

Sementara tubuh ibu baru porak-poranda, nafsu makan pun tak ada. Tak lupa pesan ahli gizi saat setelah melahirkan berkata bahwa ‘ibu harus makan yang banyak dan penuh gizi, tak boleh Lelah maupun banyak pikiran.’

Saat dijalankan kok rasanya, pesan sang ahli gizi terasa tak mungkin dijalani ya?

Anak menangis, asi tak kunjung cukup, dikejar ‘deadline’ berat badan anak, jam tidur ibu dan anak harus cukup, tapi tak ada makanan bergizi tersedia di dapur kalau sang ibu baru tak ikut campur. Saat itu hanya ia dan sang bayi yang berada di rumah, melewati hari yang begitu asing dijalani berdua

Meski semua terasa membahagiakan, air mata pun tak luput dari keluar dari sang ibu baru yang kalut akan semua beban di tubuh, Pundak, dan seisi kepala. Merenung di ujung Kasur setelah berjuang menenangkan malaikat kecilnya yang lama menangis. Jangankan untuk makan, menyeka keringatnya pun sudah taka da tenaga.

Lalu ia teringat akan sebuah buku yang dibelinya saat sebelum menikah, sebuah buku karangan Shefali Tsabary, Ph.D yang mengajak pembacanya untuk mengubah pandangan tentang pola pengasuhan.

Sang ibu menyempatkan membaca beberapa lembar buku tebal tersebut, terhanyut akan ilmu yang selama ini sangat ia butuhkan. Menangis karena ternyata sebuah buku sangat mengerti dan sangat mengisi dirinya. Dari banyaknya ilmu yang terkandung, sang ibu kini belajar bahwa anak sangat butuh dipahami, bukan sekedar untuk diurusi.

Seorang anak punya waktu dan keinginannya sendiri, bukan hanya ritme harian sedari pagi. Anak butuh ibu yang tersenyum dan hatinya terisi, bukan hanya pandangan bahwa ia bisa mengerjakan semuanya sendiri. Seorang ibu tak melulu harus melanjutkan apa yang orang dulu lakukan, tapi perhatikan apa yang ada di depan.

Belajar dari malaikat kecil, yang rapuh tapi penuh energi. Setiap hari selalu ada yang bisa dipelajari, sejenak lupakan beban dan nikmati waktu Bersama sang buah hati.

Sejak itu, setiap kali Lelah jiwanya dan tak kunjung ada obat penawar hati, sang ibu punya ‘comfort book’ yang bisa jadi penyelamat hari dan membuat diri lebih terisi.

2 Likes