#BincangBukuIbupreneur
Judul: How to Hug a Porcupine: Easy Ways to Love the Difficult People in Your Life
Penulis: June Eding (Editor) & Debbie Ellis (Kontributor)
Buku ini membuat kita belajar banyak tentang landak atau porcupine.
Landak (porcupine) yang kebanyakan hidup sebagai herbivora ini, ternyata mempunyai sifat yang unik dibanding teman sejenisnya.
Dia berduri dan suka hidup sendiri, tetapi meskipun kelihatan menyeramkan dengan durinya ini, dia tetap rapuh dan mudah diterkam oleh segerombolan predator karnivora.
Sering dituduh durinya beracun, padahal tidak. Hanya karena kita kurang mau mengenal lebih jauh binatang yang durinya bisa bangkit tajam dan terlihat garang kalau merasa diserang ini.
Itu landak asli, bagaimana jika kita menemukan manusia dengan sifat mirip landak ini? Yang durinya akan makin ganas jika sedang merasa “diserang" dan susah didekati?
Itulah kenapa buku ini hadir Bu Ibu, agar kita bisa merangkul mereka yang “hadir dalam kehidupan kita untuk memberikan hikmah”.Mereka yang mungkin saja sedang kita harapkan menjadi support system kita.
Buku ini tidak terlalu tebal dan terbagi menjadi beberapa bagian
- Bagaimana berhadapan dengan porcupine secara umum?
- Bagaimana jika porcupine itu ada di lingkungan kerja? di rumah kita dan hadir dalam bentuk pasangan atau orang tua kita?
- Lalu…bagaimana menghadapi potensi “ke-landak-an” yang ada dalam diri kita.
“Other people challenge us. Other people improve us. Other people make us better human beings”
Buku ini memberikan kita banyak tips singkat untuk menghadapi "seorang landak” atau selanjutnya saya sebut sebagai human porcupine.
Ada tiga tips yang saya suka, namun personal favorite saya adalah tentang bagaimana menghadapi orangtua. Yuk kita bahas:
1. Share with your porcupine
Dengan menunjukkan kepada human porcupine bahwa kita juga mempunyai kelemahan dan rentan terluka terhadap hal tertentu, maka dia pun juga bisa paham bahwa tidak ada yang lebih superior diantara kita. Sehingga, pelan-pelan human porcupine ini pun juga bisa terbuka terkait bagian dirinya yang rentan terluka.
Jika dihubungkan dengan kondisi School from Home saat ini dan kebetulan anak kita banyak memberikan tantangan karena sifatnya yang cukup “landak",
mungkin hal yang pertama bisa kita lakukan adalah dengan membuka diskusi hati ke hati. Di situ kita bisa bercerita bahwa yang terkena imbas dari SFH ini bukan hanya dirinya namun Ibunya juga sebenernya juga “berjuang untuk menahan emosi akan tugas2 ini” (loh kok aku curhat). Wajar jika merasa bosan, tetapi rasa bosan itu yang berusaha untuk dikelola dengan baik.
2. Respect the porcupine, if not the behavior
Ini adalah kebijaksanaan level 100 yang kita perlu miliki ketika berhadapan dengan “human porcupine”. Susah pisan ini mah.
Pada dasarnya memang kita berbuat baik ke orang lain bukan karena orang tersebut baik kepada kita atau “jaga-jaga siapa tau nanti kita butuh dia", tetapi karena pada dasarnya kita perlu berbuat baik ya memang kepada siapa saja. Dengan mental seperti ini, meskipun human porcupine ini sedang berbuat sesuatu yang nyelekit, kita tetap bisa menghadapi dengan hati legowo.
3. Meet your parent as a stranger & put yourself in your porcupine’s shoes.
Untuk suatu waktu, anggaplah bahwa orangtua kita seperti orang asing yang duduk di sebelah kita saat penerbangan jauh. Direncanakan atau tidak, kita pasti akan memulai percakapan dan makin lama kita akan menggali banyak informasi baru dari orang tersebut. Banyak hikmah baru yang kita dapat selama mengobrol dengan orang asing di pesawat, kan?
Mungkin kita bisa fokus saat itu karena tidak ada handphone di tangan dan laptop pun tidak berkoneksi internet (ketauan pakai low cost carrier)
Selama kita menjadi dewasa, berapa lama waktu yang kita habiskan untuk mengobrol dengan orangtua kita? Kapan terakhir kita bisa fokus menatap mata Ibu kita saat mengobrol tanpa melihat ke handphone?
Buat saya, Ibu saya yang menua adalah salah satu bentuk tantangan tersendiri. Ada saatnya saya merasa Ibu saya “jauh” padahal sebenarnya dekat karena kami berada di satu atap. Pada suatu malam, saya yang biasanya langsung fokus bekerja entah kenapa menyempatkan diri untuk duduk di kursi meja makan dan disitu ada Ibu saya yang sedang duduk beristirahat. Tangan saya bebas, tidak ada perangkat elektronik apapun.
Saat itu, kepada saya Ibu banyak bercerita tentang hal-hal masa kecil yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Ceritanya panjang sekali, mungkin salah satu sesi bercerita terpanjang setelah saya menikah. Di malam itu, saya seperti mengenal kembali ibu saya, rasanya lega dan bahagia.
Jujur saya merasa bersalah karena mungkin selama ini saya kurang mau mendengar ibu saya, sehingga merasa bahwa ibu saya “jauh”.
Tips lain di buku ini tentang bagaimana merangkul “porcupine parent” adalah dengan membayangkan berada di posisinya.
Kenapa ada orangtua yang banyak berkomentar tentang segala aspek kehidupan anaknya dan sepertinya tidak bisa mempercayai pola asuh anak?
Salah satu cara mengerti tipe orangtua seperti ini adalah dengan membayangkan bahwa tidak mudah untuk sebagian orangtua untuk menguyah perasaan “pelan-pelan tidak dibutuhkan lagi” padahal dulu saat masih kecil apapun dikonsultasikan kepada mereka.
Sambil membayangkan bahwa suatu saat kita juga akan menua, mari perlakukan orangtua kita sebagaimana kita ingin mengajarkan anak kita adab yang baik kepada orangtuanya.
Dalam bagian kata pengantar disebutkan bahwa buku ini adalah:
“a preventative medicine, a first-aid kit, and a healing balm,”
Tapi buat saya, buku ini bisa memberikan efek besar jika dipakai sebagai first-aid kit atau healing balm. Jika kita tahu siapakah/apakah tipe “landak” yang hadir dalam kehidupan kita maka buku ini bisa memberikan anggukan yang dalam, “Oh begini toh… bener juga.”
Oh! ini mungkin penting juga untuk diberitahu…buku ini berisi point-point yang tidak terlalu panjang sehingga cocok dibaca untuk Ibu yang sedang belajar untuk membaca buku berbahasa Inggris.
Selamat merangkul para support-system Ibu! Semangat!