Pendidikan Keluarga Solusi Pendidikan Masa Depan

Assalamualaikum Para Ibu Punya Mimpi, apa kabar?

Semoga senantiasa Allah limpahkan kebaikan, kesehatan dan ketenangan hati di setiap detik di mana pun kita berada hari ini.

Ibu, pernah mendengar Pendidikan Berbasis Fitrah?

Fitrah merupakan kondisi, karakter, konstitusi yang sudah disiapkan oleh Allah, sementara Fitrah sudah ter-install dalam diri, sedangkan hal selain itu diprogram.

Pernikahan adalah takdir Allah bukan suatu kebetulan. Setelah menikah, ada rasa ingin punya anak, itu adalah bentuk fitrah. Sambut saja fitrah kita bahwa kita adalah ayah dan ibu terbaik bagi anak kita. Pemimpin tidak turun dari langit, tapi dari rumah-rumah kita.

Itu salah satu prinsip yang saya pegang setelah mendengar mengenai Pendidikan Berbasis Fitrah dari Pakar, Ustad Harry Santosa Rahimahullah.

Bakat setiap anak unik, tidak bisa diajarkan. Ada anak yang cerewet suka bicara. Ada anak yang suka memimpin, merancang, bahkan melamun. Bakat artinya adalah hal yang mudah dilakukan oleh seseorang, saat orang lain sulit melakukannya.

Anak yang belum menghasilkan sesuatu atau belum produktif dari bakatnya, bukan berarti melakukan sebuah kenakalan. Nantinya, orang yang bekerja sesuai bakatnya tidak akan berkutat dengan urusan gaji. Menumbuhkan bakat mulai dari orangtua dulu, raise your child, raise yourself.

Banyak ayah saat ini diposisikan hanya sebagai pencari nafkah. Di sekolah tidak ada yang menyiapkan kurikulum menjadi ayah maupun ibu yang baik. Ayah harus turun dalam pengasuhan. Ibu harus lembut sedangkan ayah harus tegas. Jangan terbalik. Kita sambut fitrah orang tua karena kita yang nanti ditanya di akhirat. Tidak ada anak yang salah gaul, adanya orang tua yang salah asuh. Betapa pendidikan berbasis fitrah dalam keluarga sangatlah penting.

Selama lingkungan belum terlalu pekat (kerusakannya) laksana lingkungan Nabi Luth atau Nabi Nuh, anak kita tidak akan terpengaruh. Selama kita hidupkan jiwanya, tumbuhkan fitrahnya. Sebagaimana ikan yang hidup tidak asin dengan berenang di laut, karena ikan itu hidup. Bila ikan mati, akan mudah sekali membuatnya menjadi ikan asin.

Allah bukan didapatkan dari hasil berpikir dan budaya. Allah mengenalkan dirinya sendiri, melalui surat Al-Ikhlas. Hal tersebut harus ditanamkan kepada anak. Tarbiyah : menumbuhkan (fitrah), Ta’dib : memuliakan (adab), Ta’lim : ilmu (pengajaran ilmu). Bila fitrah tumbuh, maka adab tumbuh. Bila adab tumbuh, maka ilmu semakin mudah diraih.

Impian bagi saya untuk menebar pemahaman tersebut agar semakin banyak para ibu dan ayah yang ingin kembali menumbuhkan fitrahnya. Agar apa? Generasi setelah kita mampu mendidik manusia-manusia beradab dan tidak terus memperburuk system pendidikan anak cucu kita kelak.

Bisakah sekolah menyelesaikan krisis yang terjadi pada masyarakat saat ini seperti krisis alam (sampah, eksploitasi alam, deforestasi, penambangan, pencemaran) dan krisis manusia (depresi, kompetisi, kemiskinan, pengangguran, bunuh diri)?

Mendidik anak itu bukan dengan dijejal macam-macam ilmu ke kepalanya, tapi dibangkitkan fitrahnya. Mendidik anak itu bukan dengan outside in (dari luar ke dalam) tapi dengan inside out (dari dalam keluar). Dibangkitkan gairah belajarnya.

Jika gairah belajarnya bangkit, ia akan belajar seumur hidup. Jika gairah keimanannya bangkit, ia akan beriman seumur hidupnya.

Ketika gairah belajar tidak bangkit, akan tiba saatnya mereka berhenti belajar. Anak menjadi alergi mendengar istilah belajar. Sekolah menjadi tempat untuk sekadar menunggu bel istirahat dan pulang saja. Di Indonesia, anak-anak cenderung dididik pintar menjawab tapi tidak pandai bertanya. Sekarang ini anak-anak hanya belajar karena PR atau Ujian saja, bukan karena memang fitrahnya mereka butuh belajar.

Sistem persekolahan hari ini menghabisi semua sistem pendidikan berbasis keluarga dan komunitas. Dulu masih ada pendidikan berbasis keluarga dan komunitas ketika Belanda pertama memasukkan konsep persekolahan modern lewat politik etis tahun 1901, sebelumnya lewat misi Zending. Setelah 3 generasi, maka pudarlah model pendidikan keluarga dan komunitas seperti surau, pesantren dan lain-lain. Buya Hamka dan M Natsir adalah didikan Surau, sebuah model pendidikan peninggalan ulama dahulu yang fokus pada akhlak dan bakat bersama keluarga dan komunitas.

Pendidikan berbasis komunitas seperti surau, dayah, meunasah, pesantren, rangkang, langgar dan lain-lain yang mempraktekan kearifan-kearifan lokal dan bahasa ibu dengan sastra yang tinggi dan yang paling utama adalah memuliakan akhlak. Sistem persekolahan modern sejak lahir pada abad 19, memang dirancang sebagai alat rekayasa sosial untuk menciptakan kelas-kelas buruh patuh yang mengisi pabrik dan perkebunan Belanda. Setelah hampir 200 thn, sistem persekolahan era revolusi industri ini masih digunakan sampai hari ini. Sistem persekolahan inilah sebenarnya yang ditentang KHD, KH Ahmad Dahlan. Karena menternakkan manusia, bukan memerdekakan kodrat manusia (fitrah).

Anak usia 0-6 sebisa mungkin dijauhkan dari pengaruh yang merusak. Di usia ini anak kita, baik secara fisik maupun mental sangat mudah tertular penyakit fisik dan penyakit mental atau penyakit sosial sekitarnya. Usia 7 sampai 10, sudah mulai lebih tahan karena pada tahap ini mereka mulai mengenal nilai-nilai secara sadar. Sejak usia 7 tahun anak-anak sudah mulai melihat “dunia luar”, mereka secara bertahap mulai menyadari bahwa dirinya bukan lagi pusat semesta. Mereka mulai menyadari ada orang lain dan nilai-nilai sosial serta moral yang harus dipegang.

Di usia 7 anak mulai menyadari bahwa dirinya bagian dari sosial, mereka perlahan mulai mengenal nilai-nilai sosial serta konsekuensinya bila melanggar, nah saat yang sama memperkenalkan Allah Pembuat Hukum Yang Maha Adil semata-mata untuk kebaikan manusia dan masyarakatnya. Keinginan memahami nilai sosial bersamaan dengan membangkitkan fitrah keimanan bahwa Allah telah mengatur semuanya dengan sempurna. Anak kita harus memahami bahwa masyarakat dan semesta memerlukan hukum Allah.

Sesungguhnya secara alamiah, pada usia 7 tahun, anak mulai mengamati nilai-nilai sosial. Mencuri milik orang itu buruk, berkata kasar pada orang tua itu buruk, melindungi dan menyayangi adik, hewan, tumbuhan itu baik dan seterusnya. Mereka mulai merasa bersalah jika berbuat tidak baik, merasa malu jika ketahuan berbuat buruk dan sebagainya, itu semua tidak perlu diajarkan. Namun, orangtua mesti konsisten terhadap tanggungjawab moral ini, jangan menciderai fitrahnya dengan melanggar aturan, menuduh anak, mempermalukan di depan umum atas kesalahannya (cukup bicara dari hati ke hati, raihlah hatinya utk terbuka dan jujur mengakui kesalahannya).

Selanjutnya, anak-anak yang sudah berusia di atas 10 tahun sebaiknya memiliki Maestro dan Chaperon , yang pertama adalah pembimbing bakat dan yang kedua adalah pendamping akhlak. Di usia 11, ada dua kriteria yang harus selesai yaitu kenal diri dan kenal Allah. Keduanya kenal itu dibutuhkan untuk menjalani fase pre baligh, atau fase menjelang kedewasaan penuh. Artinya anak-anak diharapkan sudah memiliki prinsip hidup yang kokoh, sudah fokus pada pengembangan bakatnya dstnya. Sehingga secara sosial anak kita akan imun dan tangguh, tidak “cengeng” menghadapi kehidupannya.

Maka fokuslah pada pengembangan potensi-potensi keunikannya atau bakatnya dengan penyempurnaan akhlaknya, bukan pusing menghadapi masalah-masalahnya atau kelemahan-kelemanhanya. Tidak bermaksud menyuruh melupakan masalah dan kelemahannya, namun jika anak terbiasa fokus pada hal baik yang dimilikinya maka masalah dan kelemahannya menjadi tidak relevan.

Kenal diri yang dimaksud adalah mengenal sifat bawaan atau bakat. Bakat ini jika dikenali, dikembangkan dengan aktivitas yang sesuai maka akan menjadi peran atau karir. “Kenal diri” diawali dengan memperbanyak aktivitas dan wawasan dari 0-10 tahun. Orang tua bantu mengamati dan mencatat mana aktivitas yang dikerjakan dengan 4E, yaitu enjoy (enak) dan easy (enteng) makin lama makin excellent (edun) dan earn (enthuk). Menjelang 7 tahun mulai terlihat jelas, semakin konsisten di usia 10 tahun. Harapannya, jika anak sudah kenal diri, maka usia 11 bisa mulai dikembangkan serius bakatnya.

Semoga semakin banyak orang tua yang sadar pentingnya “selesai dengan dirinya sendiri” dulu. Sudah harus jelas siapa dirinya. Baru bisa membantu anaknya. Seringkali kita temukan orang tua yang memaksakan cita-cita dan ambisinya pada anaknya. Artinya, orang tua tersebut belum selesai dengan dirinya.

4 Likes