QnA Kelas #JikaIbuMenjadi Freelance Writer

6 Major Changes after Motherhood @nadiasarahw

Halo ibu, Apakabar? Adakah ibu-ibu disini yang sewaktu kecil dulu suka memberikan nama untuk bonekanya? atau main mengasuh boneka yang kita miliki? Dulu waktu kecil, saya termasuk yang suka bermain peran seperti ini bu.

Hampir dua dekade berselang, saat ini banyak diantara kita yang telah merasakan menimang dan mengasuh anak sendiri. Rasanya pasti sulit digambarkan yah bu, senang, haru dan lelah menjadi satu. Meskipun merupakan impian banyak wanita, namun tidak jarang sebagian dari kita tidak mempersiapkan perubahan yang dapat mempengaruhi hidup. Berikut beberapa perubahan yang kerap terjadi setelah menjadi ibu:

  1. Perubahan Prioritas dan Rutinitas

Bila sebelum punya anak, semua serba tentang diri kita dan pasangan. Sekarang tidak lagi, ada anak kita yang akan menjadi prioritas utama. Terkadang dari bangun pagi sampai tidur lagi akan penuh dengan rutinitas untuk si kecil.

  1. Perubahan Fisik dan Emosi

Tidak dapat dipungkiri pasti akan ada perubahan fisik yang terjadi setelah melahirkan. Seperti strechmark di perut ataupun kenaikan berat badan yang drastis. Selain itu, perubahan hormon selama kehamilan juga turut berpengaruh terhadap kondisi fisik dan emosi ibu. Pada saat bersamaan seorang ibu juga sedang belajar dengan pola hidup dan rutinitas baru. Hal inilah yang kadang membuat peran baru sebagai seorang ibu terasa begitu intens dan berat. Meskipun demikian, pelan-pelan ibu dapat menyesuaikan peran dan rutinitas ibu kok. Semangat yah bu!

  1. Adaptasi Hubungan dengan Pasangan

Setelah memiliki anak, banyak pasangan yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi kembali. Rasa lelah, kurang tidur, frekuensi seks yang menurun dan perubahan emosi kerap menjadi alasan. Hal ini juga menjadi faktor utama dari renggangnya komunikasi antara suami dan istri. Oleh karena itu, ada baiknya pasangan menyempatkan waktu untuk mengobrol santai sambil membicarakan masa-masa ketika pacaran dulu. Pasti jadi senyum-senyum kalau ingat masa itu :slight_smile:

  1. Suasana Rumah Menjadi Lebih Ramai

Kehadiran Anak tentu saja akan membuat banyak perubahan pada suasana rumah. Celoteh mereka akan memenuhi satu isi rumah dengan tawanya yang jenaka. Tidak lupa dengan pekerjaan domestik di rumah yang semakin banyak ketika si kecil sudah mulai eksplorasi barang-barang di sekitarnya. Rasa bahagia dan lelah akan jadi satu nih bu! Meski rumah sudah jarang terlihat rapih, namun rumah tetap akan menjadi happy place untuk anak kita.

  1. Kurang “Me Time”

Wah kalau yang ini sudah tidak perlu ditanya lagi yah bu! Rasanya bisa berlama-lama di kamar mandi saja sudah jarang. Namun, sebagai seorang individu ada kalanya kita butuh me time loh bu! Jadi tidak ada salahnya untuk meminta waktu kepada pasangan atau keluarga untuk ibu bersantai sedikit atau jalan-jalan sebentar tanpa membawa si kecil.

  1. Jadi Multitasking

Coba acungkan tangan, siapa yang bisa menyusui sambil membalas chat suami atau mengambil barang jatuh dengan kaki sambil menggendong si kecil? Kebiasaan yang sebelumnya tidak terbayangkan, sekarang sudah jadi skill baru yah bu. Ketika anak-anak besar nanti pasti akan jadi kenangan yang tidak terlupakan nih Bu!

Nah itu dia Bu, ulasan singkat tentang perubahan yang kerap terjadi setelah mempunyai anak. Bila hari sedang terasa berat, jangan lupa untuk meminta bantuan pada pasangan atau orang terdekat yah Bu. Suatu hari nanti, masa-masa merawat si Kecil dengan segala kesibukannya akan menjadi cerita yang manis untuk dikenang. Semangat ibu, jangan lupa peluk si kecil hari ini :slight_smile:

Penulis, Tiza Meidrina

referensi:

Ikut sharing challenge dr bu Nadia yahh @nadiasarahw :relaxed:

Lika-Liku menjadi Ibu

“Apa cita-citamu kelak?”
“Menjadi seorang ibu.”

Masih teringat dalam ingatan, sebelum menikah aku pernah menulis cita-cita menjadi seorang ibu. Keinginan itu lahir dari pengamatanku melihat bagaimana ibuku menjadi ibu ranah domestik sepenuhnya. Selama 7x24jam tanpa hari libur aku melihat ibu menemani kami di rumah.

Tapi ternyata ada yang luput kuperhatikan.
Ada bagian yang tidak kudengarkan baik-baik.
Setelah menjadi ibu, aku baru merasakan dan memahami apa yang pernah ibuku katakan.

“Jenuh rasanya di rumah terus.”
“Ibu ingin punya penghasilan sendiri.”

Saat aku mendengar kalimat itu, aku hanya menganggap sepintas lalu. Sekarang setelah aku menjadi istri dan ibu ingin rasanya aku memeluk dan mendengarkan ibu kala itu.

Hal pertama yang terlintas dibenak ku setiap hari adalah tentang keluarga kecilku. Masak, mencuci, memandikan, menemani anak bermain, dan beragam tugas yang tak bisa disebutkan satu-persatu itu telah merubah banyak hal dalam diriku.

Tidak. Tidak semua hal buruk atau sedih untuk diceritakan tentu saja. Walau seringkali aku tak bisa menahan air mata dan perlu menepi sejenak, di keluarga kecil ini aku juga bertumbuh dan melewati banyak tantangan atas seizin Allah.

Walau masih terus berproses, aku bisa lebih mengenal diriku sendiri .
Apa yang sebenarnya aku cari, aku mau, dan apa tujuanku. Aku belajar menata kembali mimpi yang aku inginkan tanpa meninggalkan kewajiban yang harus kukerjakan.

Aku semakin menghargai waktu dan kesempatan setelah menjadi ibu. Bisa membaca buku walau hanya beberapa menit, makan tanpa diminta ini dan itu, dan belajar untuk mengurangi kebiasaan menunda karena waktu luang seringnya tak hadir dua kali.

Tak hanya itu, menjadi ibu membuatku tak bisa berhenti untuk belajar . Saat menjalani fase menyusui-MPASI-bahkan hingga menyapih dan fase yang lainnya semua butuh bekal ilmu.

Seiring berjalannya waktu dan menemani anak tumbuh dan berkembang, aku semakin menghargai setiap proses manusia . Ternyata untuk bisa berjalan, makan sendiri, berbicara dan segala kemampuan lainnya semua bukan hadir seperti sulap, tapi perlu pondasi kuat dan keinginan untuk terus mencoba berulang kali hingga berhasil.

Walaupun tak bisa dipungkiri aku sering kali merindukan masa-masa sebelum menikah. Bisa pergi kesana kemari, bermain dengan banyak teman atau berani bermimpi dan yakin mampu mewujudkannya. Seringkali aku merasa melewati semua ini sendirian, duniaku terasa semakin sempit dan hanya berputar diantara suami-anak-keluarga. Bila perasaan-perasaan itu muncul, aku berusaha untuk menerima perasaanku tanpa berniat untuk menyangkalnya.

“Aku cape hari ini.”

“Aku sedang merasa jenuh dan mulai tidak sabar.”

Semua perasaan itu kuanggap seperti alarm dan peringatan sayang dari diriku sendiri. Agar mengambil jeda, bersedia untuk berbagi cerita dan mengumpulkan semangat untuk kembali berdaya. Maka peran pasangan sangat berarti dalam semua proses itu. Termasuk soal membangun ulang dan mewujudkan setiap impian.

Nyatanya menjadi ibu benar-benar tidak mudah. Seperti halnya setiap fase dalam kehidupan manusia tentu ada tantangan yang perlu dihadapi. Semoga segala lelah yang terasa, suka duka yang dialami menjadi cerita indah saat anak-anak tumbuh menjadi manusia dewasa. Tidak ada yang mampu memberikan sebaik-baik balasan selain Allah pemilik segalanya.

Bandung, 6 November 2022

Annisa Aulia Suci

@nadiasarahw terimakasih ilmu dan bimbingannya :slight_smile:

Izin setor challenge ya Bu @nadiasarahw :blush:

Menjadi Ibu

Adalah suatu anugerah terbesar bagiku. Tak seperti kebanyakan pasangan lain, aku dan suami butuh usaha yang lebih untuk punya keturunan. Banyak ikhtiar yang kami coba, mulai dari program medis, non medis, mengubah lifestyle, kami tempuh untuk bisa mempunyai keturunan. Tak terhitung berapa banyak obat-obatan dan vitamin yang harus kami minum, berapa banyak suntikan yang harus dirasakan, waktu dan biaya yang harus dikorbankan, juga naik turunnya perasaan saat menjalani prosesnya. Sedih, kecewa, marah, saat berulang kali gagal, sampai akhirnya kami pasrah. Tak disangka-sangka akhirnya kami dikaruniai buah hati di tahun ke-6 pernikahan kami.

Punya waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri menjadi ibu, tidak serta merta menjadikanku terbebas dari sindrom baby blues. Percaya diri dengan persiapan-persiapan yang kulakukan, tapi ternyata aku salah, menjadi ibu tidak semudah teori yang kupelajari di kelas-kelas persiapan kehamilan :sweat_smile:. Aku menjadi lebih sering menangis pasca melahirkan dengan segala drama baru yang harus kuhadapi. Menangis saat lelah menyusui, menangis saat harus terjaga di malam hari, menangis saat anak sakit, menangis saat berat badan anakku tak kunjung naik di satu bulan pertamanya, ikut menangis saat anak menangis, menangis saat mendengar komentar tak mengenakkan, dan lain sebagainya. Bukannya tidak bersyukur ketika sudah menjadi ibu, tapi ternyata aku juga butuh belajar beradaptasi dengan situasi yang baru.

Studi menyatakan bahwa 50-80% ibu memiliki kemungkinan mengalami sindrom baby blues pasca melahirkan. Ciri-cirinya antara lain sering merasa sedih dan menangis tanpa alasan, mudah marah, tersinggung, dan lebih sensitif, cemas dan gelisah, perubahan suasana hati, dan ada rasa enggan atau tidak percaya diri dalam mengurus bayi. Gejala tersebut dapat hilang karena proses adaptasi yang baik serta dukungan dari keluarga (Dikutip dari Jurnal Edu Health Vol. 5 No. 2, September 2015).

Rasanya semua gejala tersebut ada di minggu-minggu awal pasca aku melahirkan. Untungnya aku dikelilingi support system yang baik, sehingga lambat laun aku dapat beradaptasi dalam proses transisi menjadi seorang ibu.

Menjadi ibu artinya juga merubah skala prioritas. Yang tadinya aku bisa bekerja tanpa beban, sekarang jadi berpikir ulang untuk meninggalkan anak di rumah. Terlebih aku menjadi ibu setelah melewati proses penantian yang panjang, jadi seakan ga mau kehilangan momen bersama anak, terutama di golden age periodnya. Akhirnya saat anakku berusia 9 bulan, kuputuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaan untuk fokus membersamai anak di rumah.

Saat ini anakku berusia 15 bulan, dan aku merasa bersyukur dengan keputusan yang aku buat. Senang rasanya bisa melihat milestone demi milestone anak tercapai. Walaupun ga dipungkiri rasanya capek di rumah, juga terkadang emosi dan marah-marah, tapi hatiku serasa penuh dan puas, setiap kali melihat anakku tersenyum dan mencariku :smiling_face_with_three_hearts:.

Menjadi ibu bukan berarti berhenti meraih mimpi. Momen ini justru bisa kumanfaatkan untuk menata ulang mimpi dan mencari tau apa yang aku suka. Bisa mencoba dan mengeksplor banyak hal baru, seperti yang diwadahi oleh Ibu Punya Mimpi ini, menjadi waktu me-time tersendiri untukku dan supaya aku ga malas buat terus belajar. Karena menjadi ibu rasanya harus bisa jadi pembelajar sepanjang hayat ya kan :blush:.

Aku yakin setiap hal punya waktunya. Kalau saat ini ibu berhenti sejenak ataupun berjalan lebih lambat dari biasanya dalam meraih mimpi, tidak mengapa bu, asalkan kita ga pernah berhenti untuk terus belajar dan mencoba, pasti akan ada jalannya.

Teringat beberapa waktu yang lalu ada salah satu quote dari Ibu Najeela Shihab yang bisa menginspirasi:

“Ibu yang mencapai mimpinya akan menjadi inspirasi utama anak untuk juga mencapai mimpinya”.

Semangat terus ya, untuk kita semua Ibu :hugs:.

Share Challenge #JikaIbuMenjadi Freelance Writer
Terima kasih tim IPM, dengan adanya challenge, pertama kali untuk coba buat artikel, mohon feedback :slight_smile: :smiley:

Jika Menjadi Ibu

Menjadi ibu merupakan salah satu fase hidup yang dapat dilalui melalui pilihan ataupun takdir yang diberikan Tuhan. Berbagai cerita pengalaman perempuan yang setelah menikah, langsung dianugerahi anak dan berubah status menjadi Ibu, ataupun belum dianugerahi anak setelah lama menikah ataupun bahkan memilih untuk tidak menjadi Ibu.

Cerita pengalaman perempuan yang telah menjadi Ibu, ada berbagai suka duka setelah berubah status menjadi ibu, suka saat telah hadir anak, duka dengan berbagai tantangan menjadi Ibu.

Meskipun saat ini belum menjadi Ibu, terbayang bagaimana tidak mudah jika menjadi Ibu. Mulai dari proses saat mulai akan menjadi Ibu, pada saat hamil, bagaimana hati-hati menjaga kehamilan, memperhatikan nutrisi, apa yang dikonsumsi, belum lagi apabila ada rasa yang tidak nyaman karena perubahan hormon karena kehamilan baik fisik maupun mental.

Setelah anak lahir, bagaimana Ibu bisa merawat, mendidik dan membesarkan anak. Baik ibu bekerja maupun menjadi Ibu full time, selalu dapat dilihat dari dua sisi cerita.

Cerita dari Ibu bekerja, dengan berbagai pertimbangan untuk tetap memilih untuk bekerja dan menjadi Ibu. Sejenak bisa mengaktualisasi diri dan rehat sejenak dengan ada kehidupan lain selain menjadi Ibu, pekerjaan yang dikerjakan, bertemu teman kantor, kegiatan kantor dan ada nafkah tambahan untuk rumah tangga. Namun dengan sisi yang mungkin ada rasa bersalah karena meninggalkan anak sejenak, tidak selalu mengikuti momen perkembangan anak setiap saat, mungkin juga drama dalam mempekerjakan pengasuh anak ataupun pekerja rumah tangga dan juga mengatur waktu dan energi antara pekerjaan kantor dan menjadi Ibu.

Cerita dari Ibu full time, dengan berbagai pertimbangan untuk memilih menjadi Ibu full time. Ibu full time dihadapkan dengan pekerjaan rumah sehari-hari yang seolah tidak pernah berakhir, terkadang dengan perasaan kehilangan jatidiri. Namun dengan sisi ada rasa tenang karena membersamai anak penuh, tidak melewatkan momen tumbuh kembang anak.

Bagi yang belum memiliki anak, dalam masa penantian dapat dimanfaatkan untuk dapat belajar untuk siap menjadi Ibu, belajar mempersiapkan baik sisi fisik maupun mental. Meskipun tidak akan sempurna sepenuhnya bisa siap, namun setidaknya dapat mempersiapkan ilmu untuk menghadapi tantangan jika menjadi Ibu. Ilmu untuk persiapan fisik untuk kehamilan, ilmu dari sisi mental untuk menjadi Ibu dan ilmu parenting dalam mendidik anak. Secara mental, menjadi Ibu yang memiliki mental optimal diperlukan Ibu yang mengenal diri, meregulasi emosi, berdamai dengan diri dari sampah emosi dan belajar bagaimana bisa memiliki self-care yang cocok.

Dalam masa penantian, apabila saat ini bekerja full time, dapat juga mencari alternatif pekerjaan yang ramah sebagai ibu, pekerjaan yang secara waktu fleksibel dalam mengurus anak dan sebagai Ibu rumah tangga.

Setiap Ibu memiliki journey masing-masing, karena apapun pilihan tidak ada yang benar maupun salah. Menjadi Ibu adalah hal yang istimewa, meskipun dalam keseharian dianggap sebagai suatu hal hal biasa setiap orang akan mengalami, namun bagi individu yang menjalani bukan hal yang mudah. Semangat selalu untuk para Ibu. :purple_heart: :bouquet:

Ikut sharing Challenge dari bu @nadiasarahw


MENJADI IBU

Pada bulan April 6 tahun lalu, anakku lahir ke dunia ini. Kelahiran yang sangat kami tunggu-tunggu sebagai orang tuanya. Pada hari itu pula saya mengemban peran baru sebagai seorang ibu. Peran yang banyak dinanti-nanti oleh para wanita. Peran yang memberikan kebahagiaan, namun juga tanggung jawab yang cukup besar. Bukan sesuatu yang mudah. Kehadiran putri kecilku membawa banyak perubahan dalam diriku, diantaranya;

  1. Menjadi lebih berhati-hati
    Setelah memiliki anak, saya menjadi lebih berhati-hati dalam banyak hal. karena saya sadar bahwa apa yang saya lakukan mungkin akan berefek untuk anak dan keluarga. Saat single saya bisa makan apapun yang saya suka. Namun, sekarang harus mebiasakan memilih makanan yang lebih sehat. Karena ada anak yang harus kita dukung tumbuh kembangnya dengan makanan yang baik dan bergizi.

  2. Prioritas berubah
    Saat ini segala keputusan selalu mempertimbangkan anak. Keinginan untuk membeli kebutuhan diri terkadang terlupakan, karena fokus pada kebutuhan anak. Saat berpergian lebih memilih tempat yang kids friendly. Semua hal dilakukan agar anak senang dan merasa nyaman.

  3. Sering merasa kurang
    Sering merasa tidak sempurna menjadi ibu. Tuntutan lingkungan dan pengaruh media sosial terkadang membuatku membandingkan diri dengan orang lain. Adakalanya saya ragu pada diri sendiri, apa saya sudah cukup baik menjadi ibu untuknya?.

  4. Sering merasa khawatir
    Ketika berat badannya tak kunjung naik atau Ketika perkembangan anak tak sesuai usianya sering kali membuat saya khawatir. Bahkan saat anak sudah mulai bersekolah, kekhawatiran tetap ada. Semua itu saya rasakan, karena selalu ingin memastikan dirinya baik-baik saja.

  5. Kurangnya waktu untuk diri sendiri
    Hal ini sangat terasa terutama masa awal usianya. Rasanya sulit sekali mencari waktu. Jangankan untuk me-time ke salon atau bertemu teman-teman. bahkan untuk sekedar ke toilet, anak sudah menunggu di depan pintu toilet.

Alhamdulillah, saat ini anakku sudah mulai bersekolah di sekolah dasar. Dia tumbuh menjadi anak yang mandiri. Walaupun di awal-awal masuk sekolah, saya merasa agak aneh. Putri kecil yang biasa ada di sampingku, yang mengikuti kemanapun saya pergi. kini ia punya kegiatan sendiri. Awalnya saya merasa sangat kesepian, tapi juga saya menjadi lebih punya banyak waktu untuk diri sendiri.

Perlahan saya mulai bisa lagi melakukan hal yang saya sukai. Belajar dan mencoba hal-hal baru, apalagi di jaman sekarang banyak kelas online maupun offline yang bisa saya coba. Ternyata tidak selamanya menjadi ibu itu harus kehilangan jati diri. Akan ada waktu dimana diri kita bisa kembali lagi. Kita dilahirkan sebagai diri kita, menjadi ibu hanyalah salah satu peran kita. Tentu memang peran yang sangat penting. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memiliki peran yang lain lagi.

Bu @nadiasarahw , Saya izin posting tantangan menulisnya ya :slight_smile:

Asam-Manis Menjadi Ibu

22 tahun adalah usiaku saat pertama kali aku menjadi ibu. Aku rasa menjadi ibu seperti masuk ke dalam dunia yang baru. Malam ini, aku melihat kedua malaikat kecilku yang masih tertidur. Tahun depan adalah tahun kelima aku menjadi seorang ibu. Ternyata, perjuangan yang berat tidak usai ketika melahirkan selesai, justru baru di mulai. Petualangan yang panjang menjadi ibu. Sini, Aku bisikan bagaimana asam-manis menjadi seorang ibu.

Setelah merasakan kontraksi dan bertaruh nyawa saat melahirkan, seorang ibu akan bergelut dengan perjuangan mengASIhi dan menyembuhkan fisik pasca melahirkan. Belum lagi hormon menjadi kacau balau dan tidak stabil. Bisa menjadi uring-uringan sampai menangis diam-diam. Setelah menjadi ibu, aku baru sadar, bahwa sedekat itu seorang ibu baru dengan sindrom babyblues. Dimana perubahan suasana hati setelah kelahiran yang bisa membuat ibu merasa terharu, cemas, hingga mudah tersinggung. Ibaratnya, disenggol sedikit kita siap berubah menjadi T-rex. Roarrr!

Tidak berhenti disitu. Saat anak berusia 6 bulan, ibu harus berkutat dengan menu-menu MPASI, belum lagi dengan penolakan serta lepehan makanan dari si kecil. Lanjut, di usia anak 2 tahun harus bersiap untuk menyapih. Setelah itu toilet training. Ditambah dengan suara-suara sumbang mengenai pola asuh dan mom shaming. Ahh, seperti sedang naik roller coaster, naik turunnya terasa begitu nikmat.

Lelah ya bu? Tidak apa-apa, kamu tidak sendiri. Aku yakin, semua ibu pastinya ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, menerapkan semua teori parenting yang ada bukanlah hal yang mudah. Seringkali teori tidak sejalan dengan prakteknya. Pastinya yang aku alami di masa awal menjadi ibu adalah hidup yang penuh kejutan dan hidupku berubah drastis. Ehh bukan…bukan, itu bukan karena aku tidak bersyukur, kalau aku harus memilih kembali jalan hidupku, aku tetap akan memilih hidupku yang sekarang. Menjadi seorang ibu itu memang sulit tapi bahagianya juga jauh lebih besar. Memiliki buah hati merupakan anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku.

Akan selalu ada challange baru di setiap fase pertumbuhan seorang anak, seperti saat anak mulai masuk sekolah, saat beranjak remaja, pubertas sampai menjadi dewasa. Waktu itu terus bejalan, rasanya baru kemarin aku menimang bayi mungil yang baru terlahir kedunia, sekarang sudah mau lima tahun usianya. Terkadang aku juga membayangkan bagaimana jika dia sudah dewasa nanti, saat dia harus mengejar mimpi dan mandiri. Ahh, saat ini aku hanya ingin menikmati tahap demi tahap pertumbuhannya saja.

Walaupun sudah menjadi ibu dua anak, kesalahan tetap menjadi teman ku sehari-hari. Tidak ada yang sempurna kan bu? lagi pula anak kita tidak membutuhkan hal itu. Mereka hanya membutuhkan kita. Ibu yang menjadi dunianya. Menjadi ibu itu memang tidak mudah, Jadi jangan lupa apresiasi dirimu, Bu. Terimakasih untuk semua pengorbanan itu. Terimakasih untuk menjadi dunianya ya.

@putriajengsawitri
7 November 2022

1 Like

Haii, Buuu. Duh aku terharu banget bacanya iniii :heart:
Overall udah bagus banget, cara penulisannya juga udah oke. EYD, struktur kalimat dan tanda baca, serta kapan nulis pakai italic atau di mana hurufnya harus besar atau kecil.
Cuma 1 aja catatan, yang bener itu ke mana-mana bukan kemana-kemana (bisa cek di tautan ini ya, Bu).
Terima kasih untuk tulisan menyentuh hati ini, Bu. Semangat terus nulisnya, yaa :heart: :heart: :heart:

1 Like

Halo, Bu. Terima kasih banyak atas tulisan indahnya, terima kasih juga udah berbagi. Mungkin sulit, tapi terima kasih udah menyadari kondisi kesehatan mental ibu dan meminta bantuan profesional agar ditangani dengan tepat. Semoga ibu sekeluarga sehat selalu :heart:

Untuk struktur tulisannya udah baguuss, pemilihan katanya pun pas. Hanya perlu lebih dipelajari lagi kapan di- sebagai kata depan atau kata awalan. Misal: di saat, di mana. Kemudian penulisan kata serapan bahasa asing, sebaiknya menggunakan italic, dan penggunaan -pun nggak perlu dipisah di beberapa kata. Seperti: cuci piring pun (nggak perlu menggunakan tanda -) kecuali mau dilanjutkan dengan bahasa asing.

Semoga berkenan yaa membaca feedback ini. Tetep semangat menulis ya, Bu :heart:

Haii, Buu. Terima kasih yaa tulisannya relate banget sebagai sesama ibu-ibu :rofl:

Tapi kalau misal membutuhkan feedback, jangan lupa perhatikan pemilihan kata, walau pun ini tulisannya bukan untuk yang serius. Seperti berfikir -> berpikir, saat saat -> saat-saat.

Begitu ya, Bu. Semoga berkenan. Semangat terus menulisnya, Bu :heart:

Hai, Bu. Terima kasih udah submit challenge-nya ya, Bu. Tulisan yang berasal dari hari memang suka lebih “sampai” kepada pembacanya :laughing:

Sedikit feedback dari aku, perhatikan EYD. Setiap kalimat diawali dengan huruf besar. Kemudian perhatikan kapan menggunakan (.) atau (,). Contoh: Dari mulai waktu dan tabungan yang bergeser peruntukannya, bukan lagi tentang diriku. Satu lagi, setiap penulisan berbahasa asing menggunakan italic.

Semangat terus menulisnya ya, Bu :heart:

1 Like

Hi Ibu,
ijin share challenge yaa @nadiasarahw

Merayakan ketidaksempurnaan Ibu

Kita saat ini menjadi anak dari seorang Ibu, tapi juga menjadi seorang Ibu bagi anak kita. Ketika kita menjadi anak dari seorang Ibu, kita sering melihat betapa Ibu kita sangat tidak ideal dengan kita karena sebuah ketidaksepahaman yang bisa dibilang ‘ringan’, kita menggerutu kemudian membandingkan Ibu kita dengan Ibu dari teman kita, mungkin disitu Ibu kita merasa ‘sedih’ , karena sebetulnya apa yang mungkin dia lakukan adalah untuk hal yang menurut dia adalah baik untuk kita, tapi ada beberapa faktor yang kemudian pesan itu tidak dapat tersampaikan.

Ketika akhirnya menjadi Ibu, bayang-bayang merasa memiliki Ibu yang tidak sempurna terus menghinggap, ketakutan untuk melakukan suatu perbuatan kepada anak kita yang nanti akan berdampak kepada sikap mereka terhadap kita. Namun, apa yang akan terjadi ketika kita terus-terusan berpikir tentang ketidaksempurnaan ini? Jelas, mental kita akan tidak sehat, karena terus merenungi apa yang kurang yang bisa menyebabkan hubungan dengan anggota keluarga lain tidak kembali kondusif. Sebaliknya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengapresiasi ketidaksempurnaan ini? RAYAKAN KETIDAKSEMPURNAAN ini Bu, tidak ada Ibu yang sempurna, tapi kita masih punya banyak kesempatan untuk memahami dan memoles ketidaksempurnaan ini.

Ada banyak cara untuk merayakan ketidaksempurnaan ini, bisa dari merayakan secara pribadi sampai dengan bersama dengan Ibu yang lain, seperti :

  1. Memahami letak ketidaksempurnaan Ibu.
    Kita bisa membuat peta diri kita sendiri dimana kita biasanya merasa ‘lemah’ , misal ‘Aku merasa kesabaranku hilang ketika anak sudah mulai susah diajak berkompromi melakukan aneka aktivitas’, kita bisa membuat list untuk hal yang mentrigger kelemahan kita.

  2. Membuat plan untuk mitigasi ketidaksempurnaan Ibu.
    Kita bisa membuat rencana bagaimana cara mengatasi kelemahan ini, misal kita butuh bantuan pada saat harus memberi makan kepada anak, mengikuti workshop mindfulness untuk mengatur stress kita, dll

  3. Mengkomunikasikan kepada partner pengasuhan di rumah.
    Terbuka dengan partner menceritakan kelemahan kita itu sungguh itu sesuatu yang wajar. Ketika kita berhasil mengkomunikasikan bisa jadi ternyata selama ini mereka tidak mengerti apa yang kita rasakan, dan justru jadi peluang untuk kerjasama lebih.

  4. Membuat komitmen bersama partner untuk saling menguatkan
    Alasan kita menikah adalah untuk menjadi pasangan yang sempurna, kita bisa membuat komitmen bersama dengan partner kita yang mungkin dia bisa membantu kita di kelemahan yang kita miliki.

  5. Nikmati waktu, hidup berdampingan dengan Ketidaksempurnaan kita.

Ketidaksempurnaan kita bisa jadi akan terus menempel kepada diri kita sampai kapanpun, tapi kalau kita bisa merayakan dan hidup berdampingan dengan ketidaksempurnaan itu, tentunya beban mental ini akan sedikit terangkat ya Bu. Semangat!

1 Like

Halo Teh Nadia! @nadiasarahw Maaf baru bisa setor tugasnya sekarang. Dari kmrn masih mikirin mau nulis apa karena sebenarnya aku belum jadi ibu. jadilah nulis ini aja, tapi kayanya judulnya gak relate sama isinya. sekalian kemarin nyobain akun wordpress yang sudah terbengkalai bertahun2. boleh feedbacknya ya teh. hatur nuhun.

Setor challenge dari ibu @nadiasarahw
:smile: :smile: :smile:

Tidak Ada Sekolah Resmi Buat Belajar Jadi Ibu


Ilustrasi Ibu sedang membacakan buku untuk anaknya, sumber: pexels.com

Jika kita baru saja membeli alat elektronik baru, misalnya vaccum cleaner, maka hal yang pertama kita baca pasti manual book-nya, supaya kita tahu cara menggunakan alat tersebut dan tidak malah merusaknya. Sayangnya, tidak ada manual book yang kita dapat saat kita menyandang status baru menjadi ibu. Ternyata menjadi ibu bukan hanya soal melahirkan anak saja. Di sini aku akan bercerita tentang beberapa hal yang aku perjuangkan untuk belajar menjadi ibu.

Hal-hal yang perlu kuperjuangkan saat belajar jadi ibu, antara lain:

  1. Mengelola emosi diri sendiri


Ilustrasi ibu yang sedang mengajak bicara anaknya dengan penuh perhatian, sumber: pexel.com

Memiliki emosi dan mental yang sehat sangat dibutuhkan saat kita mengasuh anak. Seringkali saat terlalu lelah membersamai anak bermain, anak melakukan perilaku menantang. Sebagai ibu kita harus bisa belajar mengelola emosi dengan baik. Jangan sampai kata-kata atau perbuatan kita melukai anak saat anak berperilaku menantang.

Selain menimbulkan luka batin pada diri anak, anak juga bisa mencontoh reaksi marah ibu. Misalnya ibu suka berteriak dan melempar barang, anak bisa saja ikut-ikutan suka berteriak-teriak dan melempar barang ketika keinginannya tidak terpenuhi. Karena itu perlu mengenal dan memproses emosi diri sendiri terlebih dahulu, baru selanjutnya kita bisa membantu anak mengelola emosinya.

  1. Reparenting journey

    Ilustrasi seorang wanita sedang menulis jurnal, sumber: pexels.com

Perilaku anak yang menantang bisa menjadi trigger dari unfinished emotional issue pengalaman masa kecil kita. Jika dulu sewaktu kecil kita seringkali mendapat perlakuan abussive atau pengabaian dari orang tua, seringkali kita jadi melampiaskan kemarahan ke anak. Padahal kemarahan itu sebenarnya pembelaan untuk inerchild kita yang terluka karena orang tua kita dulu.

Karena itu penting bagi kita untuk menyelesaikan emosi masa kecil kita tadi. Seturut pengalamanku lewat membaca buku tentang reparenting journey dan juga menulis jurnal untuk menuliskan perasaanku. Kita juga bisa menulis surat untuk menghibur innerchild kita yang terluka tadi. Bukan untuk menyalahkan pola asuh orang tua kita, justru dengan proses ini kita bisa menerima, memaafkan, dan mengerti tindakan orang tua saat itu. Bisa jadi merekapun juga adalah korban dari pengasuhan kakek nenek kita.

  1. Mimpi ibu adalah mimpi keluarga

    Iustrasi keluarga bahagia, sumber: pexels.com

Saat memutuskan menjadi stay at home parent, aku sempat merasa sangat terpuruk dan merasa aku telah mematikan mimpiku mempunyai karir atau usaha yang bagus. Ya karena hari-hariku habis digunakan untuk merawat anakku dan mengerjakan pekerjaan domestik. Hal itu membuat hari-hari terasa berat dan juga penuh dengan kesedihan. Namun lewat diskusi dengan pasangan dan juga support dari berbagai akun parenting juga beberapa buku yang aku baca, aku mengambil jeda dan belajar menerima keadaan.

Ternyata setelah menerima apa adanya, aku sadar bahwa aku tetap bisa mengejar mimpi-mimpiku itu. Lebih baik lagi malahan, karena ini jadi mimpi keluarga kecilku juga. Yang perlu dilakukan adalah memperjelas goals apa yang ingin aku dan keluargaku capai dan menulis ulang lagi timeline yang tepat untuk mengejarnya lagi. Semangat ibu yang ingin mencapai mimpinya ini bisa menjadi contoh yang sangat baik untuk anak. Meski saat ini belum menghasilkan secara materi, ternyata semangat untuk mencapai aktualisasi diri ini berpengaruh pada perasaan yang lebih bahagia saat membersamai anak.

  1. Menyaring komentar dari luar dan stay positive

    ilustrasi pertemanan yang positif, sumber: pexels.com

Jika kita melihat keriuhan media sosial, pasti selalu ada komentar miring tentang ibu. Entah ibu rumah tangga atau ibu bekerja, ibu melahirkan per-vaginam atau ibu yang melahirkan dengan operasi, bayi asi atau bayi sufor, dan seterusnya. Banyak sekali hal-hal yang memicu perdebatan yang sebetulnya tidak penting untuk kita dengarkan.

Karena itu penting buatku untuk menyaring komentar dari luar untuk dipikirkan. Jika memang negative input itu masuk dari circle pertemanan kita, mungkin kita bisa memilih teman yang sefrekuensi untuk diajak diskusi. Bukan untuk memutus pertemanan, tetapi mungkin bisa membicarakan hal lainnya.

Itulah tadi beberapa hal yang paling kurasa sangat perlu kuperjuangkan untuk bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku. Memang menjadi orang tua adalah proses belajar terus menerus yang tidak berakhir. Tidak ada sekolah resminya, tetapi kita bisa mengusahakannya asal kita mau terus berjuang jadi ibu yang baik.

Bu Nadia, terimakasih banyak feedbacknya. Akan aku pelajari dan perbaiki kedepannya. Semoga kalo aku nulis lagi aku bisa minta feedbacknya lagi ya bu :laughing:

izin setor ibu @nadiasarahw

Menjadi Ibu tanpa menjadi orang lain

Aku bahagia sekali saat menjalani kehamilan pertama dan tidak sabar menyambut anak pertama, namun ternyata menjadi ibu tidaklah mudah. Aku adalah ibu bekerja, aku kesulitan menjadi ibu yang sempurna, aku benar-benar merasa sendirian dari pagi hingga malam, tangis pun sering pecah. Namun semua tetap ku jalani dengan ikhlas karena menikah dan memiliki anak sudah merupakan keputusanku.

Singkat cerita sekarang aku sudah memiliki 2 orang anak yang sehat dan pintar, dan bersyukur walaupun sehari-hari aku bekerja di luar, aku masih bisa dekat dengan anak-anak, menjaga kesehatannya, keamananya dan memberikan pendidikan yang terbaik.

Namun ternyata di awal pandemi dan work from home dimulai, aku seperti baru terbangun dari mimpi. Aku baru menyadari bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang anak-anakku. Anak-anak yang sepengetahuanku anak baik dan penurut tidak aku temukan selama WFH dan SFH, ditambah pekerjaan kantor yang menumpuk sungguh menguji kesabaran hingga aku sering berlaku kasar, membentak, mengancam dan memukul. Akhirnya aku memutuskan untuk memiliki lebih banyak waktu dengan anak-anak, dan bekerja sebagai part timer . Selama hampir 1 tahun menjadi part timer , cukup mengubahku menjadi orang yang lebih baik dan lebih sabar. Aku bisa lebih memperdalam agama, belajar ilmu-ilmu parenting dan memberikan contoh yang baik untuk anak-anakku. Kalau bukan karena pandemi aku tidak akan menyadari bahwa tugas ibu bukan hanya memastikan anak bertumbuh dengan baik dan sehat secara fisik tapi juga menumbuhkan sikap hidup yang baik sebagai bekalnya di masa depan dan kekekalan nanti.

Sayangnya, pekerjaan sebagai part time hanya berlangsung hampir satu tahun, karena pihak kantor menunggu aku untuk Kembali full time. Aku pun memutuskan full time kembali mengingat kelonggaran yang sudah diberikan kantorku, namun kerinduan sebagai seorang ibu yang hadir untuk anak-anak terus muncul di hatiku dan menjadi pergumulanku sendiri. Setelah melewati banyak doa, serta konsultasi dengan suami, teman, dan keluarga, aku menyadari bahwa aku harus mensyukuri apa yang aku miliki sebagai ibu bekera dan bukan mengingini kehidupan milik orang lain sebagai ibu rumah tangga. Tuhan pasti sudah membuat rencana untuk aku, dimana aku bisa melayani orang melalui pekerjaanku.

Untuk teman-temanku sesama ibu baik yang bekerja maupun yang di rumah. Tetaplah semangat dan bersyukur ya bu. Percayalah banyak orang yang iri dengan Ibu dan ingin seperti ibu, bentuk pelayanan setiap orang berbeda-beda namun rencana Tuhan untuk Ibu bukanlah sebuah rencana kecelakaan.

halo ibu @nadiasarahw

mau bertanya juga, kalau dalam suatu penulisan kita mau menggunakan referensi baik itu gambar, audio maupun konten, penulisan referensi yang baik seperti apa ya? dan seberapa banyak dapat kita kutip atau gunakan supaya tidak dianggap plagiat atau melanggar copyright?

terima kasih

Setor tulisan yah Bu @nadiasarahw :hugs:

Sepi dan Terasing Saat Menjadi Ibu Baru? Yuk, Semangat Bangkit Lagi!

Siapa yang mengira bahwa momen menjadi seorang ibu juga bisa menjadi momen paling kesepian selama hidup?

Salah satu hal yang paling tidak terpikirkan seorang ibu saat akhirnya memiliki dan merawat bayi adalah munculnya perasaan kesepian dan terasing.

Bagaimana bisa?
Padahal pasangan sudah standby terus, orang tua dan mertua siap dimintai tolong, kerabat dan teman pun juga turut hadir baik secara langsung maupun tidak.

Seorang ibu yang hadir dengan support system terbaik pun berpotensi mengalami perasaan sepi dan terasing. Ini menunjukkan betapa sebuah transisi menjadi ibu itu betul-betul “mengguncang” hormon dan kondisi mental seorang wanita.

Bukan pula berarti bahwa hadirnya anak malah membuat hidup semakin penuh beban. Tentu saja ibu menyayangi dan bersedia merawat keluarga sepenuh hati, hanya saja memang tetap perlu proses untuk pembiasaan.

Krisis identitas menjadi salah satu hal yang turut andil dalam fenomena ini. Dunia ibu mendadak berubah tak lagi berporos pada diri sendiri. Semua kebutuhan keluarga kecil ibu selalu diusahakan untuk dipenuhi hingga lupa untuk mengisi tangki cinta ibu sendiri. Seakan tak lagi mengenal diri setelah menjadi ibu.

Dari sini lah perasaan sepi dan terasing pelan-pelan muncul. Penyebab lain diantaranya adalah terbatasnya interaksi sosial seorang ibu dan juga standar parenting yang tidak realistis (yang so pasti banyak dipengaruhi dari postingan media sosial yang kita lihat).

Fenomena ini disebut cukup umum terjadi dalam hidup seorang wanita yang telah menjadi ibu, bahkan tidak spesifik pada ibu baru.

Lantas, bagaimana caranya bisa bangkit lagi tanpa harus berkutat terlalu lama dengan sepi dan keterasingan?

  1. Sadari rasa sepi ibu

Langkah paling mendasar adalah dengan menyadari perasaan ibu. Bahwa, ya, aku kesepian dan butuh teman untuk berbagi. Saat diri sudah menyadari rasa sepi, solusi akan lebih mudah dicari.

  1. Kontak keluarga atau teman dekat

Jalan keluar yang paling mudah dan praktikal adalah dengan lebih dulu mengontak anggota keluarga dan teman dekat untuk sekedar mengobrol santai atau bertanya terkait topik pengasuhan anak (atau apapun!). Mereka sebenarnya dengan senang hati mau, lo, berbicara dengan ibu.

  1. Bergabung di komunitas khusus para ibu

Dengan bergabung di satu atau lebih komunitas khusus para ibu, Ibupreneur akan menemukan satu lingkungan yang suportif, senasib, sepenanggungan. Seakan menemukan kawan untuk berjuang bersama. Yaa, kayak di Ibu Punya Mimpi gini!

  1. Mengatur ekspektasi

Harus diakui, media sosial memunculkan ekspektasi yang tidak realistis akan peran seorang ibu. Padahal, diri ibu sudah selalu menjadi versi terbaik untuk keluarga kecil ibu. Tak lebih dan tak kurang. Cari akun atau influencer yang satu value dan se-realistis mungkin agar lebih relate dengan keseharian kita.

  1. Komunikasi dengan support system

Sesekali, ungkapkan ganjalan perasaan ibu kepada pasangan, keluarga, atau siapa pun support system yang ada di sekitar ibu. Dengan berkomunikasi efektif, ibu bisa membangun hubungan yang lebih kuat dan juga menemukan solusi-solusi yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Awalnya pasti sulit ya, bu, memulai langkah untuk keluar dari zona sepi dan terasingnya ibu. Tapi sangat layak dan sepadan untuk dicoba, lo. Mana, nih, yang menjadi cara andalan ibu supaya tak lagi bergelayut dengan rasa sepi?

Referensi:

Haiii, Bu. Terima kasih banyak udah ikut setor challenge dengan cerita yang bagus dan relate banget. Terima kasih juga sudah menyadari keadaan kesehatan mental diri sendiri dan konsultasi dengan profesional. Semoga Ibu sehat selalu.

Untuk struktur kalimatnya udah baguss banget, ceritanya pun mengalir dan bikin pembaca senang membaca sampai akhir, dan mencantumkan sumber ketika mengutip teori (ini luv banget, lanjutkan Bu!). Hanya jangan lupa untuk penggunaan huruf kapital di awal kalimat contohnya: “Ha? Masa anak psikologi ngeluh kayak gini?”
Kemudian untuk kata-kata dalam bahasa asing dibuat miring atau italic. Selain itu, penggunaan kata “ibu” di tengah kalimat nggak perlu menggukan huruf kapital di depannya kecuali untuk panggilan, misal: aku diajak oleh Ibu Rani untuk ke pasar. (sumber rujukan bisa diklik di tautan ini)

Semangat menulisnya, Buu :heart:

Hai, Bu. Terima iash udah ikut challenge ini. Tulisannya bagus dan berasa baca curahan hati sendiri :laughing:

Untuk penulisan semuanya udah bagus, aku sampai bingung mau kasih feedback apa :rofl: Salah satu yang aku notice, jangan lupa menggunakan kata sambung setelah menggunakan tanda koma (,) berkali-kali. Seperti: mual, muntah, sulit tidur, sulit bergerak, kaki bengkak, kulit kering, napas pendek, atau pegal. Selain itu struktur kalimat, jangan menggunakan tanda koma terlalu banyak. Sehingga di akhir tulisan, bisa direvisi menjadi:

Buatlah Tuhanmu ridha dengan jalan hidupmu ya, Bu. Sebagaimana Ibu ridha dengan rencana-Nya.

Semangat menulisnya, Bu :heart: