Review Film: The Dreamseller

images (2)

Kenapa aku melakukan apa yang aku lakukan?
Apa yang penting buatku?
Dan apakah yang aku lakukan sudah sejalan dengan apa yang penting buatku?

Pernahkah pertanyaan seperti di atas terlintas di benak Ibupreneur? Saya sendiri baru mencoba mempertanyakan itu dalam setahun belakangan. Sebelum-sebelumnya saya sering terlarut disaat sibuk atau tengah “berlari” mengusahakan sesuatu, dan tak jarang dalam prakteknya melalaikan hal yang penting. Film ini mengingatkan saya tentang itu.

The Dreamseller

Film The Dreamseller berasal dari buku fabel The Dreamseller, The Calling karya Augusto Cury. Seperti pada cerita buku The Alchemist, film ini merupakan cerita fiksi fabel karena menginspirasi penonton dengan beragam pesan moral. Film diawali dengan seorang psikolog kesehatan mental terkenal yang mencoba bunuh diri, namun ditolong oleh pria misterius yang menamai dirinya “The Dreamseller”.

Bergerak tanpa tujuan, sang psikolog akhirnya mengikuti the Dreamseller pergi ke berbagai sudut kota, bertemu dengan beragam orang. Sepanjang perjalanan mereka bertemu orang-orang yang telah meninggalkan mimpinya dan sedang melalui masa sulit. Dengan pertanyaan dan kata-katanya, Dreamseller menginspirasi banyak orang untuk menilik akar dari ketidakbahagiaan mereka dan menemukan kembali apa yang penting dalam hidup.

Sepanjang film kita akan bertemu dengan keluarga yang sedang berkabung, anak kecil yang terpaksa menjambret karena keadaan, hingga pebisnis sukses yang mencari pencerahan untuk mencapai puncak kapitalisme. Di akhir cerita barulah terungkap siapa The Dreamseller sebenarnya.

Dia adalah pemilik salah satu perusahaan terbesar di dunia, seorang suami dan ayah dari anak gadisnya. Terlarut dalam kesibukan, dia melalaikan berbagai kesempatan menghabiskan waktu dengan keluarga. Dalam perjalanan berlibur yang kembali dia lalaikan, anak dan istrinya mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal. Mengalami kehilangan yang luar biasa dia mencoba bertahan dengan mencari tujuan dan panggilan hidup. Yang kemudian dilakukan dengan mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan pada dunia bagaimana menyadari apa yang penting dalam hidup dan menghargai hal tersebut. Titik inilah yang mengawali perjalanannya menjadi The Dreamseller.

Review

Karena turut membaca dan menyukai bukunya, saya melihat ada beberapa hal yang tidak lengkap dan memang tidak mudah memvisualkan cerita fiksi dari buku menjadi film. Bahasa Brazil tidak menjadi kendala karena subtitlenya pas, akting pemainnya juga bagus. Dan ada beberapa dialog yang wisdomnya menambah point of view saya. Terlepas dari pengemasannya, saya menangkap beberapa hal lain dari cerita ini.

  1. Film ini mengingatkan - Walau ada beberapa titik di film ini yang terkesan cliché. Namun bagi saya cerita yang menginspirasi sering berperan membangkitkan kembali sesuatu (yang sebetulnya) sudah ada pada diri kita, atau value lama yang kita lupakan seiring perjalanan. Dan film ini mengingatkan saya untuk:

melihat kembali ke dalam diri, apa yang penting bagi saya? Dan setelah menemukannya, hargai dan letakkan hal tersebut sejalan dengan apa yang saya lakukan.

  1. Dreamseller beneran ada - Mencoba menilik apa yang dilakukan seorang Dreamseller. Awalnya saya berpikir emang ada ya orang yang seperti itu? Miapahh dia memilih melakukan itu? Keliling memberi pencerahan, “speech”, dan berusaha menyadarkan orang-orang tentang sesuatu.
    Sempat saya berpikir, “Oh, mungkin itu cara dia agar orang lain tidak menyesali hidup, seperti dia” atau "Hm, mungkin itu cara dia mengaktualisasikan diri, mengerahkan apa yg bisa dia lakukan untuk hal yg dia percayai” atau “Ah mungkin tokohnya didramatisir aja, namanya juga film”.
    EEH tapi…, bukankah di kehidupan nyata juga banyak orang yang benar-benar melakukan itu?Seperti motivator, pemimpin visioner, filosof, tokoh agama, influencer dan penulis buku yangmana banyak dari mereka juga mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan pencerahan mengenai suatu hal/value yang mereka anggap penting. Banyak dari mereka sungguh menjalani panggilan hidup yg seperti itu, seperti Dreamseller, minus hidup di tenda (keep it real gurl :stuck_out_tongue_closed_eyes:).

  2. Namanya juga manusia – Menilik apa yang dilakukan cerita ini. Saya juga berpikir “film ini tidak menyajikan sesuatu yg baru, tapi saya mendapati hal seperti ini juga ada di film lain, buku lain, dan cerita lain”. Seakan manusia perlu sering-sering diingatkan, walau sudah tahu tentang sesuatu.
    Terkadang saya merasa otak sepertinya memang tidak muat menyimpan semua value-value itu bersamaan, kejujuran, kesetiaan, self-love, empati, toleransi, resilience, grit, critical thinking, reflect (banyak ya bu-ibupreneur :relieved:). Ya, namanya juga manusia, kadang lupa, kadang gak inget. Karena itu kita sering diingatkan lewat film, buku, drakor. Yang kemudian agar bisa nyantol awet di hati dan pikiran, saya belajar pelajaran hidup tidak cukup hanya sampai diketahui dan diingat, tapi bagaimana caranya itu bisa diterapkan :heart:.

Sekian.
Film the Dreamseller bisa disaksikan di Netflix :smile:
Hepi weekend Ibupreneur!

5 Likes

Aku juga lagi mempertanyakan terus tentang sesuatu yang sedang aku lakukan nih, Bu, apa tujuanku ngelakuin ini, apa ini udah sejalan seperti yang aku mau. Aku udah intip filmya, mau aku tonton ah, terima kasih bu reviewnyaaa

1 Like

Bu artikelnya, jadi membuatku berpikir banget haha.

Makasih Bu Inna artikelnya, so Insightfull :relaxed:

1 Like

aww thank you for reading bu Ridha :relaxed: