“Kalau aku bukan ibu, lalu apa identitasku?”
Pertanyaan ini mungkin belum terbersit di pikiranku saat awal memutuskan menikah, dan mempunyai anak. Sejak memutuskan menikah, aku sudah tahu bahwa aku ingin berkarir sebagai ibu. Sebagai seorang pendidik bagi anak-anakku, pengasuh utamanya.
Mempunyai anak membuatku semakin mengenal diriku sendiri. Bahwa, ya, memang inilah yang aku inginkan. Menemani anakku tumbuh dan berkembang, membersamai mereka, dan melihatnya bahagia dan mandiri ketika dewasa nanti, mungkin adalah perasaan yang mampu membuatku merasa penuh. Namun, ternyata perjalanan membersamai anak tidak selamanya mulus. Setiap pekerjaan pasti punya resiko dan sisi lain yang kurang menyenangkan. Lalu, suatu ketika akupun menemukan tulisan yang membuatku berpikir; jika tugasku sebagai ibu sudah mulai berkurang, lalu apa yang menjadi mimpiku?
Ternyata, ada orang-orang yang merasa hilang arah ketika anak mereka sudah besar. Sudah tidak membutuhkan mereka lagi sebagai ibu. Selama ini tugasnya mengurus dan mendidik anak. Dan ketika sudah tidak terlalu dilibatkan lagi, maka seperti ada yang hilang. Identiasnya. Bahkan ada juga yang melampiaskan dengan terlalu mencampuri pengasuhan anaknya untuk cucunya. Ada juga yang bahkan “meminta anak” orang lain dan menganggap itu hal yang normal-normal saja.
Di situlah aku sadar bahwa seorang ibu juga perlu punya identitas lain selain menjadi “Ibu”. Aku pun mulai merekonstruksi ulang mimpiku secara tak sadar. Aku kembali mengenali diriku; kekuatan, kelemahan, dan tentunya support system yang kupunya. Dan, ya. Aku tetaplah seorang yang mencintai dunia anak-anak, dunia pendidikan, bahkan mungkin pendidikan orang dewasa terkait anak-anak.
Semakin spesifik, aku semakin dapat menentukan tujuan-tujuan kecil yang ingin aku capai dalam hidup. Aku menemukan banyak resource terkait membangun bisnis dengan berbagai kemudahan ditengah-tengah keterbatasan, bahkan sempat menemukan seorang partner yang datang dari arah yang tidak terduga. Saat itu rasanya sangat bersyukur dan merasa bahwa tujuanku memang di-ridhoi oleh Allah.
Namun ternyata, perjalanan meraih mimpi tidak semudah itu, hehe. Di perjalanannya, aku menemukan berbagai hambatan. Dan tak bisa dipungkiri bahwa hambatan terbesar juga datang dari diriku sendiri. Dari melawan ego, idealisme, sampai manajemen waktu yang harus mengorbankan beberapa hal. Lalu akupun sadar bahwa ternyata memang ada beberapa obstacle yang tidak mungkin aku upayakan sendiri untuk dapat menyingkirkannya.
Jujur saja ada saat-saat dimana aku merasa putus asa, hopeless karena sepertinya tidak punya pilihan, dan demotivasi. Aku paham bahwa saat itu aku belum punya cukup support system, aku jadi lebih sadar dengan kapasitas diriku, dan apa prioritasku. Apakah aku rela untuk mengorbankan beberapa hal untuk mimpiku? Walau sulit untuk mengakuinya, ternyata mungkin jawabannya belum. Belum siap dan belum sanggup sekeras apapun aku berusaha.
Maka, akupun me-reframing tujuanku. Aku tentukan tujuanku saat ini yang alhamdulillah masih bisa sejalan paralel dengan mimpiku. Jadi, apa yang aku lakukan di hari ini akan menjadi tujuan kecil dari mimpi besarku. Akupun menjadi lebih protektif dalam mengonsumsi waktuku. Aku benar-benar memilih sekiranya apa yang bermanfaat dan apa yang tidak. Dan ternyata, di beberapa buku self-help sepertinya hal ini juga merupakan hal yang penting.
Namun ternyata, terkadang jadi cukup melelahkan ya . Maka akupun jadi lebih banyak membaca dan menemukan bahwa diri kita juga butuh istirahat. Ya, istirahat yang ternyata tujuannya membuat kita lebih produktif lagi dan lebih fokus saat bekerja. Beristirahat disini boleh saja melakukan hal yang dianggap “tidak berfaedah” . Misalnya scrolling konten yang sifatnya hiburan, menonton series ringan yang tidak terlalu “mikir”, termasuk hanya bengong atau tidur tentunya hehehe.
Setelah sadar bahwa mimpi besar memang harus ditunda karena aku memilih prioritasku saat ini dengan keputusanku sendiri, namun tak mengapa. Aku tahu apa yang aku mau dalam hidup sejalan dengan nilai yang kupegang saja, itupun sudah cukup. Saat ini, memang masih ada dua tubuh mungil yang membutuhkanku. Dua pasang mata yang selalu memandangku dengan berbinar dan membuatku seperti punya fans garis keras hihi. Tapi, tak apa. Mimpiku bisa menunggu. Anak-anak juga tidak akan selamanya kecil. Nanti aku pasti akan merindukan saat-saat mereka yang bisa terus kubersamai 24 jam. Nanti pasti ada masanya mereka lebih independent, lebih suka bermain dengan teman sebayanya. Ada masanya aku bisa memetik hasil dari apa yang aku upayakan untuk mereka hari ini. Dan jika saat itu tiba, in syaa Allah aku siap untuk meneruskan mimpiku yang tertunda.
Sampai bertemu lagi, Mimpi