Savior/Hero Complex: Ketika Ibu "Ketagihan" Menjadi Superhero

Hai Ibupreneur!

Pernah nggak sih menemukan akun media sosial yang melabeli ibu sebagai superhero? Katanya sih karena ibu bisa melakukan semua hal, dan bisa menyelesaikan (hampir) semua masalah. Bagaimana rasanya disebut superhero, Bu? Bangga pastinya ya, karena tugasnya mulia sekali dan rasanya kok ada kemiripan sama kehidupan sebagai ibu. Ya nggak salah juga sih sebetulnya, karena peran ibu generalis, ya kaan. Mulai dari urusan pertukangan sampai jadi pengacara, semuanya bisa :sweat_smile:

Tapi sadar nggak Bu, menyandang label superhero ini seringkali tricky lho. Kita jadi superhero untuk orang lain, tapi lupa jadi superhero untuk diri sendiri. Kita selalu berusaha membantu orang lain, tapi luput memperhatikan kebutuhan diri sendiri. Kalau tidak hati-hati, lama-lama jadi sebuah kebutuhan. Ada istilah yang disebut Savior Complex. Dikutip dari alodokter.com, Savior Complex adalah perilaku yang membuat seseorang cenderung untuk selalu membantu atau menolong orang lain secara berlebihan. Mereka sampai rela mengorbankan dirinya sendiri untuk membantu orang lain, terlepas apakah orang tersebut memerlukan bantuannya atau tidak.

Dampak dari Savior Complex nggak main-main. Ada burnout, merasa depresi ketika usahanya tidak membuahkan hasil, bahkan merusak hubungan yang telah terjalin. Seorang ibu dengan Savior Complex akan merasa gagal apabila usahanya untuk membantu tidak membuahkan hasil yang baik. Ia akan selalu berusaha memperbaiki keadaan, bahkan ketika sebetulnya tidak dibutuhkan. Kebayang nggak Bu, bagaimana ini berpengaruh ke perkembangan anak?

Lalu bagaimana mengatasinya? Menurut situs psychologytoday.com, ada beberapa cara, yaitu:

  1. Meningkatkan awareness.
    Pahami kapan, di mana, dan dengan siapa perasaan ini muncul. Disadari saja dulu, jangan tergesa dituruti.

  2. Menerapkan batasan.
    Menentukan batasan mudah, menerapkannya susah. Mungkin kita akan merasa bersalah ketika bilang tidak, atau ketika memutuskan untuk tidak berbuat apapun. Untuk orang yang telah hidup dengan savior complex bertahun-tahun, hal ini akan terasa sulit. Tidak apa-apa. Change happens over time, through small, consistent efforts—not a single grand gesture.

  3. Just take action
    Kuncinya di kita, Bu. Kapan kita mau mulai untuk mengurangi sedikit demi sedikit?

  4. Mencari pertolongan
    Jika sulit melakukan sendiri, tidak ada salahnya mencari bantuan profesional. Tapi ingat, kita bisa merasakan manfaat dari psikolog atau psikiater apabila kita mau bekerjasama dan disiplin dalam mengubah apa yang perlu kita ubah. Jadi kuncinya kembali ke poin 3: just take action.

Sebagai ibu, seringkali kita dituntut untuk menjadi pihak yang selalu membenahi keadaan. Kita merasa bertanggungjawab atas kesejahteraan setiap anggota keluarga, fisik maupun psikis. Tapi ingat Bu, self-worth kita tidak ditentukan oleh berapa banyak masalah yang sudah kita benahi. Pun tidak ditentukan oleh orang lain. Kita perlu percaya bahwa anggota keluarga mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, dan bahkan mungkin tidak membutuhkan bantuan kita. Mereka hanya butuh bercerita, dan kita hanya perlu mendengarkan.

Yuk Bu, kita mawas diri, demi mendampingi keluarga bertumbuh dengan mental yang lebih sehat.

Sumber:

1 Like