Sebagai seorang ibu dan perempuan, ada banyak hal yang ingin kuraih sekaligus kugugat. Keduanya kerap hadir beriringan, saling meminta waktu serta perhatian. Seperti ketika dulu aku ingin sekali memelihara serta merawat bisnis kecilku namun ternyata tak banyak waktu yang kumiliki. Jika saat itu datang, ada banyak sekali pertanyaan yang rasanya lebih serupa keluhan.
Mengapa aku tak bisa? Mengapa mereka bisa? Mengapa rasanya menjadi laki-laki akan lebih memudahkan aku untuk serakah mengambil porsi waktu sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri dan sesekali berjarak dengan anak?
Mengapa sebagian masyarakat masih merasa bahwa perempuan (dan tentu saja para Ibu) adalah satu-satunya tumpuan yang wajib bertanggung jawab pada hal-hal yang domestik semata tanpa menganggap mereka juga berhak memiliki ruangnya sendiri?
Mengapa kadang ada sebagian kehidupan pernikahan yang sifatnya membunuh mimpi perempuan? Mengapa sistem dukungan yang sangat dibutuhkan Ibu justru yang paling kencang mengikat tali larangan?
Sebagian orang kadang menganggap Ibu yang bepergian sendiri untuk sekadar bersenang-senang sebagai egois , sementara sebagian orang juga tak merasa ada yang salah ketika itu dilakukan oleh sebagian para Ayah. Sama seperti ketika Ibu memulai hidup barunya sebagai ibu pekerja (yang setiap hari pergi ke kantor) dan yang banyak ditanyakan adalah persoalan:
“Anak di rumah sama siapa?”
“Gak sayang sama masa emas anak? Rejeki gak akan ke mana, tapi masa keemasan anak gak akan terulang, lho.”
Sementara yang dilontarkan kepada para Ayah jarang sekali terdengar seperti itu. Kalau bisa, rasanya ingin mengirim meme rolling eyes , deh. Bias sekali.
Kondisi-kondisi di atas bisa jadi sudah jauh berkurang kita temui pada sebagian masyarakat kita. Dibutuhkan bukan hanya keberanian untuk bersuara, melainkan juga konsistensi pada arah yang hendak dituju. Membaca A Room of One’s Own karya Virginia Woolf membuatku semakin memahami posisi ruang bagi seorang perempuan demi kesehatan relasi dengan dirinya snediri. Apabila ruang di mana sebelum menjadi Ibu hanyalah miliknya sendiri, maka setelah kedatangan anak(-anak) ruang personal itu patut tetap dipertahankan meski tentu tidak seleluasa dahulu. Layak untuk tetap dirayakan.
Pada satu titik, aku mulai merasa ada banyak hal yang keliru dalam hidupku. Tentu ini bukan soal menyesali masa lalu. Namun, bahwa aku keliru menganggap tidak menghargai mimpiku sendiri adalah wajar . Adalah wajar aku tak memedulikan apa yang kumau dalam hidupku setelah menjadi Ibu. Adalah wajar ketika aku mengijinkan orang lain mengambil kendali atas diriku. Adalah wajar jika menjadi Ibu artinya aku memang semestinya kehilangan ruang bahkan diriku yang dulu.
Dulu aku merasa sebagian orang-orang di lingkunganku menunjukkan padaku bahwa semua itu wajar . Namun semua itu bagiku keliru. Aku kemudian mulai membenahi pola pikir serta persepsiku terhadap nilai-nilai keibuan yang secara pribadi sudah harus diubah. Misalnya sesederhana melonggarkan diri dari rutinitas memasak setiap hari hingga mulai asertif untuk memiliki ruang bagi diri sendiri agar tetap menemukan diri sendiri di dalamnya.
Maka bangunlah ruang yang aman, yang memendarkan penerimaan yang positif bagi tiap-tiap upaya kita sebagai perempuan dan Ibu untuk melanggengkan semangat mengejar mimpi. Ruang yang dapat berupa sebuah tempat secara harafiah, atau sepenggal waktu untuk membaca buku atau hal-hal menyennagkan lainnya tanpa distraksi dari anak-anak, atau bahkan sebentuk kehadiran orang atau komunitas yang mampu mendukung secara berdampingan.
Salah satu hal yang kusuka adalah mengikuti berbagai kelas daring—gratis atau berbayar, berbahasa indonesia atau inggris. Menempuh kelas daring bagiku, seorang Ibu tiga anak yang kini masih bekerja dari rumah, memungkinkan untuk konsisten meraih informasi dan pengetahuan.
Pun dengan bergabung dengan komunitas yang memiliki visi yang sama terutama dengan peranku sebagai Ibu, rasanya seperti mendapat dukungan dari peer group . Layaknya bertemu dengan teman-teman lama yang mengerti apa yang sedang ingin kita raih bersama.
Gugatan dari diri sendiri ini mungkin dapat sedikit mmeberi arti bagi perempuan dan Ibu lainnya. Agar mereka bisa kembali yakin pada mimpi-mimpinya. Supaya kelak bukan hanya mampu meraihnya namun juga memberi teladan bagaimana perempuan sekaligus Ibu yang tetap menggenggam erat semangat hidup pada anak(-anak)nya.[]