Sebuah Perjuangan Mewujudkan Mimpi Ibu

CATATAN PERJALANAN MENUJU BUNDA PRODUKTIF

Oleh: Lina Najwatur Rusydi (siswa Comeback Journey Penulis#4)

Hai Bunda, apa sih arti produktif menurutmu?
Apakah produktif berarti menghasilkan uang? Apakah ukuran produktif melulu soal materi?

Menikah. Ibadah yang disebut sebagai separuh agama sebab ialah ibadah terpanjang semasa hidup. Dimulai saat ijab qabul hingga maut memisahkan.

Sebagai anak sulung, saya menyaksikan sedari kecil bagaimana khidmatnya Mama (alm) kepada suami dan anak-anak hingga merelakan cita-citanya sebagai guru dan harus puas dengan pendidikan yang hanya sampai menengah atas. Setiap hari beliau menyibukkan diri dengan aktivitas mengurus rumah, mengurus suami, dan anak-anak yang jumlahnya 9 orang. Memastikan diri terlelap di malam hari setelah menyelesaikan semua tugasnya dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah isteri dan ibu yang penuh dedikasi. Melihat kehidupan Mama, saya tahu bahwa menjadi isteri dan ibu tidaklah mudah. Meniti jalan ibadah seumur hidup ini perlu mengorbankan banyak hal selain kelapangan hati. Karena itu, saya sadar bahwa saya perlu banyak menyiapkan diri untuk sampai pada keputusan menikah. Maka, ketika kuliah S1 saya ditanya, “setelah lulus, rencananya apa atau mau kemana?”, saya mantap menjawab, “lanjut kuliah”.

> Banyak orang-terutama perempuan-yang harus melepaskan cita-citanya setelah menikah, seolah-olah menikah itu bukan bagian dari rencana. Rencanakan mimpimu bersama pasanganmu sehingga tidak harus melepaskan cita-cita setelah menikah. (Anies Baswedan)

 Penggalan kalimat Anies Baswedan tersebut saya dengar samar-samar saat saya beraktivitas di dapur. Menjadi kebiasaan, ketika saya  mengerjakan pekerjaan rumah, saya ditemani oleh konten-konten youtube. Berharap tidak ada waktu tersia-sia. Pekerjaan rumah selesai, kehausan belajar pun terpuaskan sebab selalu ada banyak hal yang saya peroleh dari aktivitas mendengar.

Penggalan kalimat tersebut menghempaskan saya pada belasan tahun lalu. Tepatnya, ketika ada seorang laki-laki yang belum saya kenal menyatakan keinginannya untuk ta’aruf, padahal saat itu saya belum ada keinginan menikah. Lho, ta’aruf itu berkenalan kan? Nggak harus nikah kan? Nggak masalah dong?

Yap, benar. Ta’aruf itu memang berkenalan. Tapi dalam kerangka mencari pasangan hidup. Bila ta’aruf cocok, keluarga ridha, maka tak ada alasan untuk menolak pernikahan. Maka, meski ta’aruf tak selalu berujung pernikahan, namun menikah adalah konsekuensi yang mungkin terjadi di ujung proses ta’aruf.

Hati berada di persimpangan. Keinginan melanjutkan kuliah sedangkan orangtua berkata, “Dicoba saja Mbak (ta’aruf maksudnya). Barangkali dia memang jodohmu.” Jawaban yang tak saya duga sebab sebelumnya orangtua selalu menolak rencana ta’aruf yang menghampiri saya.

Berpikir realistis, tak ingin gamang berlama-lama, saya harus pastikan bahwa sosok dia memang yang tepat. Bahwa saya dan dia masing-masing bisa mewujudkan mimpi bersama-sama. Maka, selain obrolan ringan seputar kepribadian, minat, hobi, latar belakang keluarga masing-masing, kami pun berdiskusi tentang rancangan keluarga yang akan kami bangun bersama. Terlontarlah diskusi tentang perempuan bekerja, pengasuhan anak, problem finansial (yang sangat mungkin kami alami), manajemen waktu, tanggung jawab suami isteri, dan lain-lain. Saya benar-benar detail, tak ingin salah pilih.

Alhamdulillah wa syukurillah, proses yang akhirnya berujung pada pernikahan tersebut, membawa saya pada kehidupan lain. Suami begitu mendukung segala keinginan dan aktivitas positif saya. Beliau rela mengeluarkan kocek dalam demi mendanai kuliah master saya. Ketika saya berkuliah, beliau tak segan mengantar, menjemput atau menjaga anak-anak agar isterinya bisa kuliah dengan tenang. Saat sepertinya saya tak sanggup menyelesaikan, beliau mendorong saya dengan kuat. Mengantarkan saya bertemu narasumber, bimbingan bahkan menemani selama saya sidang tesis. Begitu pun saat saya kemudian memilih menjadi IRT sebab harus mengurus bayi, beliau tidak keberatan, bahkan ikut serta terlibat dalam pengasuhan dan merawat anak-anak. Selama menjadi IRT, saya terus belajar, mengikuti berbagai webinar, kulwapp. Sekarang, saya kembali bekerja, dengan jam kerja yang sangat pendek sehingga memungkinkan saya bekerja sambil membawa anak. Dengan kondisi seperti ini? Apakah saya sudah menjadi ibu yang produktif? Jika iya, mengapa saya belum merasa puas? Mengapa saya merasa ada bagian dari jiwa saya yang belum terisi? Ataukah saya kurang bersyukur? Saya pun terpekur dalam perenungan panjang.
Hingga….
Saya temukan jawabannya dalam sebuah buku berjudul ‘Bunda Produktif: Catatan Ikhtiar Menjemput Rizqi’.

> Aktivitas produktif bukanlah aktivitas yang diukur dari materi. Aktivitas produktif tidaklah selalu aktivitas yang mendatangkan uang. Menjadi manusia produktif berarti menjadi manusia yang punya karya. Karya yang menghantarkan pada kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat.

*Impactful.* Itulah ruang kosong yang menanti diisi. Meski banyak kesibukan namun saya merasa kemanfaatan bagi masyarakat  dengan hadirnya saya di tengah-tengah mereka, masih amat kurang (jika tak ingin disebut nihil). Meski saya mengajar para mahasiswa, namun karena efek pendidikan tidaklah instan, saya merasa belum ada dampak dari peran mengajar saya.
Beberapa pesan lain yang saya tangkap dari buku ini adalah:
  1. Untuk menjadi bunda produktif, maka kokohkan dulu bunda sayang (tuntas ilmu dan amal pengasuhan) dan bunda cekatan (tuntas ilmu dan amal manajerial sebagai seorang ibu) agar tidak terbolak-balik prioritas. Sebagai ibu, prioritas utama adalah suami dan anak. Jangan sampai aktivitas produktif justru menjauhkan diri kita dari suami dan anak-anak.
  2. Rezeki itu pasti, kemuliaan yang harus dicari. Ya, rezeki dari Sang Pemberi Rezeki tidak akan pernah tertukar. Sejatinya, dengan atau tanpa usaha kita, rezeki Allah akan mengalir ke kita. Namun kemuliaan diri dengan peran-peran wajib yang sudah Allah tetapkan adalah sesuatu yang perlu diupayakan. Maka, usaha untuk menjemput rezeki jangan sampai menodai kemuliaan diri kita.
  3. Seringkali kita terjebak pada label ibupreneur. Seolah-olah dengan menjadi ibupreneur maka otomatis akan bisa selalu dekat dengan suami dan anak. Secara fisik, ya mungkin dekat, namun secara hati dan jiwa? Belum tentu. Itulah alasan mengapa baiknya sebelum masuk ke ranah produktif, kuasai dulu Bunda Sayang dan Bunda Cekatan.

Buku ini bukanlah buku bisnis. Hanya berisi kumpulan kisah para ibu yang berusaha menjemput rezeki dengan menemukan kemanfaatan dirinya untuk masyarakat/lingkungan. Bagi saya yang tengah tertatih menemukan kemuliaan diri dan menjemput rezeki dengan aktivitas produktif, buku ini memberikan banyak insight. Sangat layak dibaca bagi setiap ibu yang tengah berjuang menjadi ibu produktif tanpa meninggalkan peran sejatinya di keluarga.

bunda produktif

1 Like