Ternyata, Resign dan Menjadi Ibu Penuh Waktu itu

Halo, Ibu semua. Kenalkan, saya Ika.
Saya mau cerita sedikit, ya. Sebagian dari ibu di sini mungkin sama seperti saya, memutuskan resign dari pekerjaan karena banyak alasan; alasan terbesar biasanya keluarga, terutama anak dan suami. Saya pun begitu. Dari sekian banyak alasan saya resign (termasuk burnout dan stres yang ditandai dengan sakit yang diagnosis dokternya berganti-ganti), di Desember 2019, surat pengunduran diri pun akhirnya saya serahkan ke atasan. Saya pun mulai menjalani hari-hari di rumah bersama anak–yang sebelumnya diasuh oleh ibu saya yang tinggal bersama kami.

Ndilalahnya, di awal 2020 itu, seketika semua orang ikut “merumahkan diri” seperti saya akibat pandemi di bulan Maret. Jadi, efek di rumah saja karena sudah tidak bekerja lagi nggak terlalu berasa-berasa amat, gitu.

Di tengah tahun, ada rasa gelisah yang saya rasa, ada perasaan terlalu nyaman dengan fisik dan pikiran yang dibiarkan tak diolah ini. Namun, kata “terlalu” biasanya tidak cenderung ke arah yang baik, kan? Wah, kalau dibiarkan, bisa-bisa kemampuan otak saya melemah, nih, begitu pikir saya.

Beruntung, lingkaran pertemanan saya dengan para sahabat yang adalah junior-junior saya di kantor terdahulu mendukung hal-hal positif sehingga kami pun bersepakat membangun Klab Buku via Zoom sekaligus untuk menyambung silaturahmi. Menyenangkan sekali ternyata mengobrol dan mendengarkan orang lain, sebuah hal yang tak pernah saya sadari bahwa saya butuh komunikasi aktual dengan orang lain!

Tak terasa, setahun berlalu, saya baru ingat bahwa, tujuan saya ada di rumah saat ini adalah untuk anak saya. Tapi di sisi lain, saya juga seorang wanita. Saya butuh aktualisasi, menyelami lagi bagaimana kehidupan di luar diri saya berjalan. Saat itulah, saya merasa, menjadi ibu penuh waktu adalah satu hal dan menjadi wanita yang utuh adalah hal yang satu lagi. Dua-duanya tidak ada yang lebih utama. Dua-duanya terinternalisasi dalam setiap jiwa seorang wanita yang sudah memiliki anak.

Sempat merasakan bosan dan sumpek (karena juga rumah kami yang mungil ini ditinggali oleh empat dewasa dan satu anak kecil, jadi ya, ketemunya pintu depan rumah dan dapur) Hehehe…

Sempat juga merasakan kekhawatiran, apakah anak saya sudah saya didik dengan baik? Dari kekhawatiran itu, saya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang pendidikan (anak saya baru 2,5 tahun sewaktu saya baru resign!) dan berbagai metode pengasuhan dari ujung dunia satu ke ujung dunia lain.

Sempat juga merasakan kekurangan uang, yang wajar saja karena tidak ada sepeser pun masuk ke rekening saya selain nafkah dan jajan dari suami. Awalnya sih nggak apa-apa, karena masih ada dana DPLK yang tersimpan. Tapi setelah dua tahun, uang itu ludes juga. Iya karena tidak enak rasanya kalau saya pakai uang dari suami untuk keperluan pribadi yang notabene keperluan pribadi saya adalah mencukupi perpustakaan kecil kami dengan buku-buku anak. Loh, itu keperluan pribadi atau keperluan anak, sih? Begitu batin saya merasa akhir-akhir ini. Lagipula, saya tidak butuh pakaian baru, sepatu, tas, dan barang-barang yang biasa saya pakai untuk kerja.

Me time? Saya tergolong tidak begitu suka di mal atau tempat ramai. Bagi saya, mal itu adalah tempat berbelanja dan tempat ketemuan saat janjian. Saya tidak begitu nyaman nonton di bioskop, terutama setelah punya anak. Ke salon pun saya kurang nyaman. Kalau ke salon, saya selalu berpikir, ngapain sih saya 2–3 jam di sini hanya untuk dipijat dan dikeramasi? Bisa habis 1 buku kalau saya habiskan di kafe.

Jadi me time saya apa dong? Nggak tahu. Saya mungkin memang gak butuh me time yang sama dengan orang lain. Me time saya mungkin adalah bekerja. Bertemu dengan orang yang membutuhkan skill saya. Bertemu dengan dunia yang dulu pernah menjadi tempat saya mengerahkan daya pikir dan upaya saya. Itu me time saya. Jadi, saya selalu mencari-cari waktu untuk bisa membuka kelas bahasa Indonesia secara online, mencari kesempatan untuk menjadi relawan, mencari kesempatan belajar bisnis kecil-kecilan tapi benar-benar saya kuasai dan sempat saya lakukan, namun juga terus mencari kesempatan belajar tentang pengasuhan dan pendidikan untuk anak.

Karena di sana, saat saya menjalani “me time” versi saya, saya bisa menjadi diri saya, bermanfaat untuk orang lain. Saya mengenali sedikit demi sedikit potensi saya. Apa yang sebelumnya saya tidak tahu saya bisa, akhirnya saya tahu saya bisa. Dan apa yang sebelumnya saya tahu saya tidak bisa, akhirnya saya tahu saya bisa mempelajarinya lebih pelan.

Ada tujuan besar yang membuat saya berjalan ke arah ini. Saya belum tahu tujuan besarnya itu apa. Tapi saya tahu, Tuhan sudah menawarkan pilihan resign yang akhirnya saya ambil ini karena saya membutuhkan itu agar saya bisa mencapai tujuan besar yang Tuhan sudah siapkan.

Resign bukan berarti saya berhenti menjadi diri saya. Dan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu bukan berarti harus selalu menuntut “me time” selayaknya orang lain yang bisa dengan mudah mencari me time dengan hal-hal yang menyenangkan dan mengenyangkan.

Me time saya mungkin berbeda. Cerita resign Ibu juga mungkin berbeda.

Kita gak selalu harus sama, kan?

Salam,

Ika

5 Likes

Ibu, thanks for sharing. I need this :sob::sob::sob::sob: thanks for the beautiful words and insight :blue_heart:

1 Like

Salam kenal mba Ika, aku Innar. Cuma mau bilang saat aku resign 3th lalu aku juga berpikir hal yang mirip at some point dengan mba Ika, i know how it feel. Dan aku ngerasa tulisan mba Ika very inspiring - karena aku kesulitan mengungkapkan apa yg aku rasa dan pikirkan saat itu, eh sama mba Ika bisa ditranslate jadi kata-kata, jd aku ngerasa relate. Upaya2 mba mengaktualisasikan diri, join relawan, dan percaya bahwa ada tujuan besar lain setelah resign, couldn’t agree more. Dan jg setuju banget gak harus sama - masing2 kita unik. Aku yakin tujuan untuk mba Ika akan terungkap semakin jelas seiring waktu dan perjalanan - semangat mencari, menemukan, dan menjalani. Salam.

2 Likes

Halo Bu… Salam kenal. Terima kasih. Kita sama-sama bertahan dan berjalan ya Bu.

1 Like