Merangkul rasa malu, takut, dan rentan dalam merumuskan mimpi (Review buku “The Gift of Imperfection” karya Brené Brown)

Di tengah semangat membara untuk menjadi seorang yang kembali bekerja di ranah publik, si kecil jatuh sakit. Saat itu, nafasnya berat sekali. Ia dengan pasrah menerima selang oksigen serta jarum infus yang bersarang di badan mungilnya. Meski begitu, ia tetap berusaha menangis dan memegang saya sekuat tenaga untuk memastikan ibunya tetap ada di sisinya.

Sambil memegang tangan si kecil yang terlelap di ranjang rumah sakit, saya meletakkan jurnal berwarna pink yang terbuka lebar. Terlihat jelas coretan saya tentang mimpi serta segala rencana yang ingin saya penuhi.

Pikiran saya berkecamuk. Gaduh sekali dengan kecemasan dan keraguan.

  • Apakah saya masih pantas mengejar mimpi ini?
  • Bagaimana jika mimpi ini membuat saya menjadi ibu yang lebih buruk?
  • Apakah setelah saya meraih mimpi ini, saya bisa menjalani hidup dengan sepenuh hati?
  • Bagaimana saya bisa selalu yakin, bahwa mimpi ini adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan bukan hanya oleh saya, tapi juga oleh anak-anak dan suami saya?

Beruntung saya bertemu dengan buku, “The Gift of Imperfection” karya Brené Brown edisi terjemahan bahasa Indonesia yang ada di google play.
Buku ini menyajikan topik yang mengarah tepat kepada apa yang saya resahkan.
Seperti bawang, saya dikupas lapisannya satu persatu hingga bertemu inti diri, yang selama ini tidak saya sadari keberadaannya.
.

Tentang Penulis


image by : amazonnews.com

Cassandra Brené Brown (yang selanjutnya saya sebut Brown) adalah seorang ibu dari dua anak yang bekerja sebagai profesor riset di University of Houston. Fokus penelitiannya ada pada kerentanan, keberanian, dan rasa malu.
"The Gifts of Imperfection” sendiri adalah buku kedua yang ditulisnya.
Buku ini telah berhasil menjadi New York Times Bestseller dan sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa.
Saya sendiri pertama kali mengenal beliau melalui video TED Talk-nya, “The Power of Vulnerability,” yang hingga saat ini telah ditonton sebanyak 21 juta kali disini.


image by : static.oprah.com

Brown mengawali pembahasan di buku ini dengan merumuskan apa yang dimaksud dengan hidup sepenuh hati (wholehearted).
Ternyata, itu bukanlah sebuah hasil dari pilihan yang hanya satu kali diambil, melainkan sebuah proses yang dijalani seumur hidup dengan perasaan berharga.
Dengan kata lain, setiap bangun di pagi hari, saya selalu berpikir, *tak peduli apa yang sudah tercapai dan apa yang belum, saya pantas untuk diterima. Saya berharga. Saya cukup”.

Pembahasan ini membawa saya pada pertanyaan krusial.
Apakah mimpi yang saya rumuskan tadi berasal dari rasa berharga? rasa pantas untuk memiliki mimpi meskipun saya tidak sempurna?
Atau sebaliknya, apakah saya butuh meraih mimpi itu agar saya dihargai orang lain?
Jika memang agar saya dihargai, maka berarti mimpi itu bukan berasal dari saya. Itu tak lain adalah bentuk pertahanan diri dari rasa malu, takut dan rentan.

Mungkin tidak masalah untuk tetap berusaha meraihnya.
Namun saya perlu mengikuti lebih jauh perjalanan Brown di buku ini, jika ingin mengatasi hal-hal yang menghalangi saya untuk merasakan hidup dengan sepenuh hati.

Ada alasan mengapa saya begitu ingin kembali bekerja sesegera mungkin, di usia si kecil yang masih balita ini.
Beberapa bulan terakhir, saya mengalami suatu krisis.
Ada semacam “lubang hitam” dalam tubuh ini yang menarik kuat seluruh jiwa saya untuk masuk ke dalam diri, melepaskan segala kesibukan rumah tangga, dan hidup dengan damai sebagai diri saya sendiri.

Namun di saat yang sama, saya tidak tahu lagi siapa diri saya.
Saya dipenuhi kebingungan, ketidakpastian, dan kegelisahan, akan makna dan tujuan hidup.
Saya pikir, saya hanya membutuhkan waktu untuk me time .
Saya mencoba pergi ke salon, bermain game, hingga rutin menulis jurnal bersyukur.
Namun, “lubang hitam” itu tidak pernah pergi.
Saya menjadi haus akan kegiatan me time terus-menerus, yang rasanya lebih seperti “pelarian” untuk menekan perasaan itu, alih-alih mengisi energi.

"The Gifts of Imperfection” adalah buku yang ditulis oleh Brown selama mengalami fase krisis yang sama. Mungkin itu sebabnya, semua cerita dan pembahasan yang ada di buku ini sangat beresonansi dengan saya.

Namun yang menarik, ia tidak memandang fase tersebut sebagai crisis. Ia menyebutnya unraveling (pengungkapan / penguraian).
Perbedaan sudut pandang ini, membawa saya lebih jauh untuk melihat, bahwa apa yang saya alami itu bukanlah suatu gangguan yang harus diatasi sesegera mungkin, melainkan sebuah panggilan untuk menyelaraskan hidup dengan makna yang lebih sejati, dimana ketidaksempurnaan juga turut di dalamnya.

Menurutnya, kita tidak bisa mengendalikan ataupun mengatur sebuah unraveling.
Kita tidak bisa menyembuhkan hal itu dengan mendisiplinkannya ataupun menekannya dengan me time sebagaimana yang saya lakukan. Yang saya perlukan adalah menghadapinya, serta membicarakan hal-hal yang menghalangi saya untuk menjalaninya, terutama perasaan malu, takut dan rentan.
.

Merangkul Rasa Malu, Takut dan Rentan Sebelum Merumuskan Mimpi

Setelah membaca buku ini, saya memahami bahwa apa yang saya rasakan saat menatap anak saya di rumah sakit, bukanlah perasaan bersalah (yg menumbuhkan), melainkan perasaan malu.
Saya merasa tidak pantas memiliki mimpi dan menjadi diri sendiri, ketika anak saya mengalami situasi yang berat, alih-alih merasa bersalah dan memperbaiki situasinya dengan tetap merasa berharga.

Maka saya perlu untuk melakukan hal-hal berikut sebelum merumuskan mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan;

  • Sadari dan Akui Perasaan: Langkah pertama adalah mengenali dan menerima perasaan malu, takut, dan rentan. Dengan menyebutkan dan memahami perasaan ini, saya mulai mengambil alih kendali atasnya, bukan sebaliknya.
  • Bicarakan dengan Orang yang Dipercaya: Penulis menyarankan untuk berbicara tentang perasaan tersebut dengan orang-orang terdekat yang saya percayai. Dengan berbagi, saya bisa merasa lebih lega dan mendapat perspektif baru yang membantu saya menghadapi perasaan itu.
  • Latih Keberanian dalam Kerentanan: Keberanian bukan berarti tidak merasa takut, tetapi berani tampil dan tetap melangkah meski saya merasa rentan. Semakin saya berani berada dalam situasi yang rentan, semakin saya tumbuh dan menjadi kuat.
  • Berbaik Hati pada Diri Sendiri: Penting untuk bersikap lembut dan penuh kasih pada diri sendiri, terutama saat merasa malu atau rentan. Jangan menghakimi diri sendiri. Ini membantu saya untuk bangkit dari rasa malu dan melanjutkan hidup.
  • Bangun Koneksi dengan Orang Lain: Menjalin hubungan dengan orang lain adalah kunci dalam menghadapi kerentanan. Ketika saya berbagi pengalaman, kita menyadari bahwa saya tidak sendirian dan bahwa kerentanan adalah bagian dari hidup yang wajar.
  • Fokus pada Pertumbuhan: Alih-alih menghindari rasa malu dan takut, penulis mengajak pembaca untuk melihatnya sebagai kesempatan untuk berkembang. Dengan merangkul kerentanan, saya membuka pintu bagi diri untuk belajar dan menjadi lebih baik.

2 Likes

Sangat menginspirasi bu. Jadi bqhan renungan buat diri saya sendiri juga. Terimakasih ulasan bukunya

Sama-sama buu…
Terimakasih sudah membaca tulisankuu :hand_with_index_finger_and_thumb_crossed: