Hai bu, perkembangan teknologi saat ini bikin ngeri-ngeri sedap ya bu. Apalagi melihat AI (artificial intelligents) yang bisa membuat artikel hanya dalam beberapa detik, lengkap dengan segala sumber literaturnya.
Aku sendiri mulai berganti kebiasaan dalam mencari informasi. Yang biasanya ngetik keyword di google dan bacain artikel yang muncul satu-satu, sekarang berubah jadi buka chat.openai.com, lalu aku nanya langsung panjang lebar apa saja informasi yang aku butuhkan disitu.
Ngga bisa dipungkiri si bu, AI ini efisien banget.
Meskipun begitu, aku masih aktif untuk subscribe beberapa blog dan rutin membaca tulisan terbarunya.
Aku sempat bertanya-tanya, apa yang membuatku ingin subscribe blog tersebut? Apa yang aku cari? Apa yang menarik?
Lalu aku menemukan, bahwa aku tak lagi membaca blog untuk mencari informasi singkat yang mudah kudapatkan dari AI. Aku membacanya karena ingin merasakan sesuatu.
Aku ingin terhubung dengan perasaan dan pikiran si penulis, yang seringkali relate dengan kehidupanku. Aku ingin merasakan kemanusiaan sekaligus idealisme yang digagas oleh penulis melalui cerita dan kelakarnya.
Hal tersebut sangat menginspirasiku dalam membuat sebuah tulisan. Oleh sebab itu, aku mencari hal-hal apa saja yang bisa kulakukan, agar tulisanku bisa memiliki kualitas yang sama dengan blog yang aku subscribe. Autentik, menarik, dan berdampak.
Berikut 3 hal yang aku dapatkan bu.
1. Menghargai setiap perspektif sekecil apapun dalam diri
Elizabeth Gilbert dalam bukunya “Big Magic: Creative Living Beyond Fear”, menegaskan pentingnya menghargai ide dan opini kita sekecil apa pun.
Karena hal tersebut merupakan bahan bakar kreatif untuk membuat tulisan menjadi lebih menarik dan autentik.
Selain itu, menggunakan perspektif dan pengalaman pribadi, mampu menciptakan koneksi emosional yang kuat dengan pembaca, sehingga tulisan kita lebih mengesankan dan berdampak.
Rutinitas yang bisa ibu lakukan:
-
Cobalah untuk beropini tentang film yang ibu tonton, buku yang ibu baca, dan segala hal yang terjadi di sekitar ibu. Biarkan opini tersebut mengalir seperti apa adanya bu.
Jangan sekali-kali ibu judge opini itu buruk, aneh, psikopat, caper, julid, daaan sebagainya. Jangan buk ya, jangan. Karena dibalik opini ibu itu, terdapat value unik yang ibu miliki. -
Cobalah untuk mencatat apa saja yang ibu pikirkan, termasuk opini tadi. Formatnya bebas. Ngga perlu bagus kata-katanya, dan ngga perlu mikirin bagaimana mengembangkan tulisan itu. Yang penting dicatat aja dulu bu, dan kumpulkan dalam tempat yang sama. Misalnya folder “Gudang Ide” di hp ibu.
2. Membangun kebiasaan refleksi
Ini maksudnya bukan pijet ya bu, hihi
Refleksi adalah proses memikirkan kembali apa yang telah terjadi dan menggali makna di baliknya.
Natalie Goldberg, dalam bukunya “Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within” menekankan pentingnya untuk terus merenungkan apa yang kita tulis, dan mengapa kita menulisnya. Hal itu dilakukan sebagai cara untuk memahami lebih dalam tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita.
Kebiasaan refleksi tidak hanya meningkatkan keterampilan menulis, tetapi juga menghubungkan penulis dengan aspek spiritual dan emosional dari proses kreatif.
Rutinitas yang bisa ibu lakukan:
-
Beberapa hari setelah ibu menulis artikel ataupun blog, luangkan waktu untuk refleksi tentang pengalaman menulis ibu. Siapkan ruangan dimana ibu bisa tenang dan nyaman dalam berpikir.
-
Renungkan dan tuliskan hal-hal apa saja yang berhasil dalam tulisan ibu, apa yang perlu diperbaiki, dan hal-hal lainnya yang mempengaruhi tulisan tersebut, seperti lokasi menulis, alat yang dipakai untuk menulis, strategi yang digunakan, informasi yang didapat, dsb.
Simpan catatan tersebut di tempat yang sama, misalnya folder “jurnal refleksi menulis” di hp ibu.
3. Menaklukan inner critic dalam diri
Julia Cameron, dalam bukunya “The Artist’s Way”, memperkenalkan konsep inner critic sebagai salah satu hambatan terbesar yang dihadapi penulis maupun seniman dalam proses kreatif mereka.
Inner critic sering muncul dalam bentuk pikiran-pikiran negatif seperti,
“tulisanku tidak cukup baik,” atau
"orang lain jauh lebih berbakat daripada aku," dan sebagainya.
Pikiran ini bisa sangat persuasif dan menyebabkan ibu mengalami writer’s block, menunda-nunda, atau bahkan berhenti menulis sama sekali.
Cara menghadapinya bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Namun dalam tulisan kali ini, aku ingin mengajak ibu untuk menghadapinya dengan melakukan rutinitas berikut.
Rutinitas yang bisa ibu lakukan:
-
Ketika membuat sebuah tulisan, pisahkan antara proses kreatif dengan proses evaluasi bu.
Saat ibu melakukan proses kreatif, alirkan saja ide maupun emosi yang ingin ibu sampaikan tanpa mengevaluasi tulisannya. Editing, kritik, dan evaluasi dapat ibu lakukan di tahap berikutnya setelah semua yang ingin ibu sampaikan tertulis. -
Luangkan waktu untuk mendengarkan dan berbicara pada inner critic ibu dengan kasih sayang. Ibu juga bisa menggali lebih jauh tentang bagaimana agar berdamai dengan ketidaksempurnaan diri dengan membaca buku “The Gift of Imperfection” karya Brené Brown.
Saya spill dikit bu isinya melalui artikel ini.
Selama ini ada kekuatan besar dalam diri ibu. Ada banyak berlian yang tak tersentuh dalam pikiran dan perasaan ibu, yang telah berhasil melewati fase-fase sulit.
Itu semua menarik, dan mampu menghubungkan ibu dengan emosi pembaca yang juga manusia bu.
Pengalaman unik menjadi manusia adalah hal yang tak tergantikan oleh AI.
Jika bukan ibu yang menggali kekuatan itu, lantas siapa lagi?
Yuk bu, kita mulai bersama-sama